Sebuah
Kado Penantian
Febria Ratnasari
080110201017
Damar terpaku, kaku. Ia tak tahu apa yang harus
diperbuat. Tubuhnya lemas, lunglai, gemetar, peluh meluncur di dahinya.
Sesekali matanya menatap tak berdaya pada layar kaca. Headline news:
“Tsunami Mengguncang Wajah Ibu Pertiwi”.
Disadarinya
bukan kali pertama musibah datang silih berganti, “negeri ini sudah tak aman
lagi” batinnya. Musibah terbesar dalam hidupnya siap menerjang. Bergegas Damar
panik. Handphone. “Ya handphoneku”., lirihnya. Berulangkali
jarinya beradu dengan keypad HP. Tak ada jawaban diseberang. Damar resah,
gundah mencekam lara.
Wajah Damar pucat pasi, tertunduk lesu. “ Kado ulang
tahun terburuk” umpatnya. Segera
meluncur bola-bola kristal dimatanya, meluncur deras tanpa hambat. Teringat
kembali senyum orang-orang yang dikasihinya saat Ia bersama keluarga kecilnya
setiap tahun merayakan hari ulangtahunnya. Wajah Ibu yang berperawakan setengah
tua, namun tampak lebih muda dari usianya kini, selalu dinamis dengan gaya sederhananya.
Teringat
kembali wajah adiknya Kinanti, senyum manisnya mampu buyarkan gunung es batu
sikap acuhku. “Kinan, adikku sayang”, lirihnya lagi. Tak mampu Ia berkata
lebih. Diam. Tak ada kado senyum manis penuh tawa.
Sejam
lamanya Damar tetap terpaku di pojok ruang tamu, tetap digenggamnya HP yang Ia
biarkan menyala. Ditatapnya televisi tanpa kedip. Berharap. Cemas. Tiba-tiba
pintu luar berderit. Langkah kaki tergesa datang. “Damar………….., kenapa masih
disini? Sudah tau belum Aceh Tsunami”ujarnya. Damar hanya mampu menatap mata
itu penuh sinis. Mata merahnya tak mampu tutupi galau hatinya.
“Plenz,
loe gak papa kan?
Ehm, maksud gue pa loe dah ngabarain nyokap dan adik loe, Kinan?” tanyanya.
Lagi-lagi Damar hanya menatap sinis, tak acuh. Sikapnya yang sedingin es membuat
temannya tertunduk lesu. Ia tahu sahabatnya itu tak banyak bicara. Sikap
dinginnnya dapat menjawab segala pertanyaan yang diajukannya. Seketika itu juga
langsung dipeluklah Damar di dekapannya, dekapan sahabat sejati.
Butiran
kristal itu kembali mengalir, bahkan jauh lebih deras dari sebelumnya. Rasya
hanya mampu menepuk punggung sahabatnya itu, seolah meyakinkan bahwa tak kan terjadi suatu yang
buruk dalam hidupnya, diawal usianya yang ke 22.
Lama
terpaku dalam tangis. “Sya, loe tau gue gak bisa bayangin kalau harus
kehilangan nyokap dan Kinan, gue gak setegar gunung es, gue kan mencair tanpa senyum Kinan” ucapnya
sambil sengungukan. Diketatkan lagi pelukan Rasya yang sempat renggang,
kehangatan untuk sahabatnya. “Gue tau plenz, mereka adalah nafas hidupmu. Gue
gak bisa bayangin itu terjadi padamu. Gue harap pasti semuanya baik-baik saja.”
Jawab Rasya. Damar tersenyum kecut.
Telepon
kontrakan berdering. Rasya bergegas menghampiri meja telepon. Lima menit kemudian dia datang dengan mata
lebih lembab. “Damar, pamanmu telepon”. Bergegas Damar beranjak menuju telepon
tergeletak. Diangkat ganggang telepon. Gemetar tangan. Isak tangis di ujung
suara telepon.
“Damar,
apa kamu sudah tau berita di Aceh? Baiknya kau lekas pulang, Paman masih ada
urusan penting jadi saat ini paman belum bisa terbang ke sana” ujarnya. Damar hanya diam membisu tanpa
jawaban pasti. “ya udah, paman kirimkan uang ke rekeningmu, cepatlah kau
terbang ke Aceh, kabar baik darimu ku tunggu” ujarnya lagi. Damar hanya
menjawab “okey lah. Semoga semuanya baik-baik saja”.
Damar
meminta Rasya untuk menemaninya terbang ke Aceh, Ia
takut menerima kenyataan terburuk dalam hidupnya. Disadarinya selama tiga-empat
hari tak mungkin Ia bisa langsung terbang ke Aceh, pastilah infra dan
supratruktur di propinsi itu lumpuh total. Bandara ditutup, itu yang Ia ketahui
dari televisi. Selama menunggu hari keberangkatannya, Damar tak mampu
beraktifitas sebagaimana mestinya. Pekerjaannya
Ia abaikan dan dibiarkan
tergeletak sana-sini di kamarnya. Makanpun serasa tersendat di ujung
kerongkongan. Mata pucatnya, bergaris hitam, menyiratkan berhari-hari Ia tak
bisa pejamkan mata.
Tayangan
berita mengenai bencana Tsunami yang melanda kampung halamannya membuat Damar
semakin rapuh. Wajah coolnya seperti tak terurus lagi. Tak teringat lagi
bahwa Ia selalu menjadi uberan gadis-gadis cantik di kantornya.
Damar
histeris melihat tayangan betapa kejamnya Tsunami menyapu sebagian wajah Ibu
pertiwi, menghapus semua kenangan indah yang Ia tanam di setiap jalan kenangan
bersama Ibu dan Kinan, adik tercintanya. Ia juga melihat jalan-jalan yang biasa
Ia lalui bersama teman-teman dan keluarganya menjadi jalan tumpukan
barang-banrang yang sudah tak berwujud lagi. Ngeri.
Hari
ketiga, Damar tetap saja terpaku menatap televisi tanpa henti. “seribu nyawa
telah hilang, tak berbekas” lirihnya.
Terbayang dibenaknya bila dua diantara seribu nyawa hilang itu adalah Ibu dan
adiknya, Kinan. Kembali Ia tertunduk lesu.
Segala
upaya Ia kerahkan, berusaha mencari informasi dari Koran, telepon sana-sini pada
teman dan kerabat yang bisa dihubungi, televisi, radio, bahkan media internetpun menjadi sasarannya. Nihil. Tak
ada kabar mengenai kedua orang terkasihnya.
Hari
kelima setelah terjadinya Tsunami, Damar dan Rasya bergegas meninggalkan kontrakan
sederhana mereka menuju bandara Juanda Surabaya. Ditinggalkannya kota yang telah
memberikan nafkah hidup bagi Damar juga untuk keluarga kecilnya semenjak Ia
ditinggal pergi oleh Ayahnya. Pergi untuk wanita lain. Sejak saat itu Damar
benci pada sosok laki-laki yang selama 18 tahun Ia panggil sebagai “Ayah’.
Rasya
membantu Damar mengangkat koper-koper miliknya. Tidak butuh waktu lama. Pesawat
merpati airlines yang akan membawanya
terbang menuju bandara Blangbintang di Banda Aceh telah berangkat. Terlihat
jelas dipelupuk matanya, indahnya kota Surabaya dilihat dari
ketinggian beribu kaki jaraknya. Damar tak sanggup membayangkan apa yang akan
Ia lihat setibanya Ia di kampung halamannya.
“Bro,
mendingan loe tidur aja dulu, perjalanan kan
masih ada waktu beberapa jam lagi. Tenangkan diri dan pikiranmu. Kita berdoa
aja semoga Tuhan berikan kemudahan buat kita bertemu dengan keluarga loe.
Harapan itu pasti ada, meski setetes air di gurun Sahara”
dakwahnya. Entah mengapa setiap ucapan Rasya selalu mengena dihatinya, Ia
paling tau tentang perasaannya saat ini.
Damar
mencoba memejamkan mata berulang-ulang kali namun tak berhasil. Hingga dititik
jenuh Ia memandang sekitar hanya gumpalan awan yang beriring mengiringi
kepergiannnya. Awan itu tak lagi mendung. “Sya, mungkin benar katamu, harapan
itu mungkin ada walau hanya setetes air di gurun Sahara”
lirihnya dalam hati. Akhirnya mata pilu dan lembab itu tertutup rapat untuk
sekian waktu lamanya, sampai pesawat yang membawanya mendarat di bandara
Blangbintang.
0 comments:
Post a Comment