Tuesday, March 26, 2013

Cerpen : Sebuah Kado Penantian



Sebuah Kado Penantian


Febria Ratnasari
080110201017


Damar terpaku, kaku. Ia tak tahu apa yang harus diperbuat. Tubuhnya lemas, lunglai, gemetar, peluh meluncur di dahinya. Sesekali matanya menatap tak berdaya pada layar kaca. Headline news: “Tsunami Mengguncang Wajah Ibu Pertiwi”.
Disadarinya bukan kali pertama musibah datang silih berganti, “negeri ini sudah tak aman lagi” batinnya. Musibah terbesar dalam hidupnya siap menerjang. Bergegas Damar panik. Handphone. “Ya handphoneku”., lirihnya. Berulangkali jarinya beradu dengan keypad HP. Tak ada jawaban diseberang. Damar resah, gundah mencekam lara.
Wajah Damar pucat pasi, tertunduk lesu. “ Kado ulang tahun  terburuk” umpatnya. Segera meluncur bola-bola kristal dimatanya, meluncur deras tanpa hambat. Teringat kembali senyum orang-orang yang dikasihinya saat Ia bersama keluarga kecilnya setiap tahun merayakan hari ulangtahunnya. Wajah Ibu yang berperawakan setengah tua, namun tampak lebih muda dari usianya kini, selalu dinamis dengan gaya sederhananya.
Teringat kembali wajah adiknya Kinanti, senyum manisnya mampu buyarkan gunung es batu sikap acuhku. “Kinan, adikku sayang”, lirihnya lagi. Tak mampu Ia berkata lebih. Diam. Tak ada kado senyum manis penuh tawa.
Sejam lamanya Damar tetap terpaku di pojok ruang tamu, tetap digenggamnya HP yang Ia biarkan menyala. Ditatapnya televisi tanpa kedip. Berharap. Cemas. Tiba-tiba pintu luar berderit. Langkah kaki tergesa datang. “Damar………….., kenapa masih disini? Sudah tau belum Aceh Tsunami”ujarnya. Damar hanya mampu menatap mata itu penuh sinis. Mata merahnya tak mampu tutupi galau hatinya.
Plenz, loe gak papa kan? Ehm, maksud gue pa loe dah ngabarain nyokap dan adik loe, Kinan?” tanyanya. Lagi-lagi Damar hanya menatap sinis, tak acuh. Sikapnya yang sedingin es membuat temannya tertunduk lesu. Ia tahu sahabatnya itu tak banyak bicara. Sikap dinginnnya dapat menjawab segala pertanyaan yang diajukannya. Seketika itu juga langsung dipeluklah Damar di dekapannya, dekapan sahabat sejati.
Butiran kristal itu kembali mengalir, bahkan jauh lebih deras dari sebelumnya. Rasya hanya mampu menepuk punggung sahabatnya itu, seolah meyakinkan bahwa tak kan terjadi suatu yang buruk dalam hidupnya, diawal usianya yang ke 22.
Lama terpaku dalam tangis. “Sya, loe tau gue gak bisa bayangin kalau harus kehilangan nyokap dan Kinan, gue gak setegar gunung es, gue kan mencair tanpa senyum Kinan” ucapnya sambil sengungukan. Diketatkan lagi pelukan Rasya yang sempat renggang, kehangatan untuk sahabatnya. “Gue tau plenz, mereka adalah nafas hidupmu. Gue gak bisa bayangin itu terjadi padamu. Gue harap pasti semuanya baik-baik saja.” Jawab Rasya. Damar tersenyum kecut.
Telepon kontrakan berdering. Rasya bergegas menghampiri meja telepon. Lima menit kemudian dia datang dengan mata lebih lembab. “Damar, pamanmu telepon”. Bergegas Damar beranjak menuju telepon tergeletak. Diangkat ganggang telepon. Gemetar tangan. Isak tangis di ujung suara telepon.
“Damar, apa kamu sudah tau berita di Aceh? Baiknya kau lekas pulang, Paman masih ada urusan penting jadi saat ini paman belum bisa terbang ke sana” ujarnya. Damar hanya diam membisu tanpa jawaban pasti. “ya udah, paman kirimkan uang ke rekeningmu, cepatlah kau terbang ke Aceh, kabar baik darimu ku tunggu” ujarnya lagi. Damar hanya menjawab “okey lah. Semoga semuanya baik-baik saja”.
Damar meminta Rasya untuk menemaninya terbang ke Aceh, Ia takut menerima kenyataan terburuk dalam hidupnya. Disadarinya selama tiga-empat hari tak mungkin Ia bisa langsung terbang ke Aceh, pastilah infra dan supratruktur di propinsi itu lumpuh total. Bandara ditutup, itu yang Ia ketahui dari televisi. Selama menunggu hari keberangkatannya, Damar tak mampu beraktifitas sebagaimana mestinya. Pekerjaannya Ia abaikan dan dibiarkan tergeletak sana-sini di kamarnya. Makanpun serasa tersendat di ujung kerongkongan. Mata pucatnya, bergaris hitam, menyiratkan berhari-hari Ia tak bisa pejamkan mata.
Tayangan berita mengenai bencana Tsunami yang melanda kampung halamannya membuat Damar semakin rapuh. Wajah coolnya seperti tak terurus lagi. Tak teringat lagi bahwa Ia selalu menjadi uberan gadis-gadis cantik di kantornya.
Damar histeris melihat tayangan betapa kejamnya Tsunami menyapu sebagian wajah Ibu pertiwi, menghapus semua kenangan indah yang Ia tanam di setiap jalan kenangan bersama Ibu dan Kinan, adik tercintanya. Ia juga melihat jalan-jalan yang biasa Ia lalui bersama teman-teman dan keluarganya menjadi jalan tumpukan barang-banrang yang sudah tak berwujud lagi. Ngeri.
Hari ketiga, Damar tetap saja terpaku menatap televisi tanpa henti. “seribu nyawa telah hilang,  tak berbekas” lirihnya. Terbayang dibenaknya bila dua diantara seribu nyawa hilang itu adalah Ibu dan adiknya, Kinan. Kembali Ia tertunduk lesu.
Segala upaya Ia kerahkan, berusaha mencari informasi dari Koran, telepon sana-sini pada teman dan kerabat yang bisa dihubungi, televisi, radio, bahkan media  internetpun menjadi sasarannya. Nihil. Tak ada kabar mengenai kedua orang terkasihnya.
Hari kelima setelah terjadinya Tsunami, Damar dan Rasya bergegas meninggalkan kontrakan sederhana mereka menuju bandara Juanda Surabaya. Ditinggalkannya kota yang telah memberikan nafkah hidup bagi Damar juga untuk keluarga kecilnya semenjak Ia ditinggal pergi oleh Ayahnya. Pergi untuk wanita lain. Sejak saat itu Damar benci pada sosok laki-laki yang selama 18 tahun Ia panggil sebagai “Ayah’.
Rasya membantu Damar mengangkat koper-koper miliknya. Tidak butuh waktu lama. Pesawat merpati airlines yang akan membawanya terbang menuju bandara Blangbintang di Banda Aceh telah berangkat. Terlihat jelas dipelupuk matanya, indahnya kota Surabaya dilihat dari ketinggian beribu kaki jaraknya. Damar tak sanggup membayangkan apa yang akan Ia lihat setibanya Ia di kampung halamannya.
“Bro, mendingan loe tidur aja dulu, perjalanan kan masih ada waktu beberapa jam lagi. Tenangkan diri dan pikiranmu. Kita berdoa aja semoga Tuhan berikan kemudahan buat kita bertemu dengan keluarga loe. Harapan itu pasti ada, meski setetes air di gurun Sahara” dakwahnya. Entah mengapa setiap ucapan Rasya selalu mengena dihatinya, Ia paling tau tentang perasaannya saat ini.
Damar mencoba memejamkan mata berulang-ulang kali namun tak berhasil. Hingga dititik jenuh Ia memandang sekitar hanya gumpalan awan yang beriring mengiringi kepergiannnya. Awan itu tak lagi mendung. “Sya, mungkin benar katamu, harapan itu mungkin ada walau hanya setetes air di gurun Sahara” lirihnya dalam hati. Akhirnya mata pilu dan lembab itu tertutup rapat untuk sekian waktu lamanya, sampai pesawat yang membawanya mendarat di bandara Blangbintang.


0 comments:

Post a Comment