This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Friday, March 29, 2013



CONTENG, CONTRENG, DAN CENTANG

Febria Ratnasari, S.S


ABSTRAK
                        Pada saat kita menghadapi Pemilu dalam pemilihan Presiden-Wapres kerapkali kita mendengar istilah contreng, conteng, centang, dan cawang. Keempat istilah itu digunakan secara bersama-sama sehingga menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat.  Kesalah tafsiran yang menganggap bahwa keempat istilah itu adalah hal yang sama dapat menimbulkan kesesatan berpikir. Untuk menghindari itu perlu adanya kejelasan mengenai keempat konsep istilah itu. Permasalahan mengenai bahasa Indonesia dapat diselesaikan dengan menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang telah sesuai dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar (EYD).
                        Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak ditemukan  kata contreng. Kata ini populer ketika suatu lembaga (KPU)  dan Parpol mensosialisasikan cara pemilihan dengan contreng. Agar tidak terjadi kesalahtafsiran, istilah contreng tergolong kata yang tidak baku. Bagi kalangan tertentu (partai politik) kata contreng mungkin tidak banyak dipersoalkan, tetapi bagi kalangan pengguna Bahasa Indonesia yang baik dan benar kata contreng belum dibenarkan. “Ada yang berpendapat bahwa yang penting rakyat mengerti. Jadi, penggunaan kata atau istilah apa pun boleh-boleh saja.”  Menurut hemat penulis penggunaan contreng termasuk arbiter (semena-mena atau sesukanya) dan hanya berlaku untuk kalangan terbatas (meskipun kata itu belum dibakukan dalam Bahasa Indonesia).

Kata Kunci: Problematika Bahasa Indonesia, conteng, contreng, dan centang


PENDAHULUAN
            Masih ingatkah kita pada peristiwa pemilu tahun 2009? Kita disuguhkan dengan istilah contreng. Disetiap media massa dan cetak selalu menggunakan istilah ini sebagai salah satu cara untuk melakukan pemilihan terhadap kandidat Capres dan Cawapres. Selain kata contreng, terdapat pula kata conteng, centang, dan cawang. Penggunaan istilah ini berbeda pada setiap sosiokultural.
            Pemilu 2009 mempunyai aturan yang berbeda dengan pemilu sebelumnya. Selama pemilu di Indonesia diadakan selalu menggunakan teknik coblos atau melubangi kartu suara. Pada Pemilu 2009 teknik yang digunakan yaitu menandai kartu suara pada gambar logo partai atau pada nama caleg yang dipilih. Tanda yang diperkenankan sampai saat ini belum ada perubahan yaitu dengan cara dicontreng (istilah yang dipakai KPU), walau ada wacana untuk membolehkan teknik lain yaitu coblos, tanda silang dan tanda lingkar.
             Teknik contreng sendiri masih menimbulkan sedikit permasalahan bagi orang awam. Bukan cara memberi tanda yang sulit tetapi istilah contreng yang digunakan membingungkan karena untuk orang berbahasa Jawa misalnya, untuk tanda yang sama menyebutnya dengan istilah centhang. Tanda √ dalam bahasa Inggris disebut check. Padahal di Indonesia mempunyai ratusan bahasa yang barangkali mempunyai istilah berbeda untuk menyebut tanda yang sama tersebut.
Walau hanya istilah tetapi hal tersebut bisa membuat kesalahan teknis ketika Pemilu 2009 nanti karena akan banyak suara tidak sah bila hanya tanda √ yang diperkenankan sebagai tanda sahnya kertas suara. Akan banyak kertas suara yang dianggap tidak sah karena sekedar penggunaan istilah tanda.
            Istilah yang sering digunakan oleh  Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menggunakan istilah contreng. Bahkan disetiap media massa dalam upaya mensosialisasikan cara pemilihan dalam pemilu menggunakan istilah contreng. Pada hakikatnya dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 03 Tahun 2008 Pasal 26 ayat (3) telah dicantum menggunakan tanda centang untuk memilih kandidat yang akan dipilih. Hal itu mengakibatkan adanya pertanyaan yang muncul mengenai kebakuan bahasa itu.
            Setelah mengalami kritikan dari masyarakat akhirnya pihak KPU mau mengakui kesalahannya dan akan mengganti semua media sosialisasi, seperti spanduk, leaflet, atau pun booklet yang memuat segala bentuk sosialisasi contreng pasangan capres dan cawapres. Istilah contreng dalam laporan itu menjadi sangat tenar, sebelum maupun sesudah pelaksanaan pemilu seiring dengan gencarnya sosialisasi di media massa.

PEMBAHASAN
            Contreng di berbagai media massa dan cetak seperti koran,  televisi, radio, majalah dan lain-lain. Kata Contreng menjadi kata yang sangat populer, menjadi kata yang sering diucapkan para politisi dan para anggota KPU. Masyarakat yang awam dengan masalah politik mulai dicecoki dengan kata Contreng ini.
Kata contreng pada saat itu pada dasarnya merupakan kata yang baru, asing, dan entah dari mana asalnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak mencantumkan kata contreng sebagai kata yang baku.
            Kata contreng, oleh KPU, diartikan sebagai mencoretkan tanda seperti “√“ pada pilihannya. KPU menyamakan istilah kata contreng dan centang, yang sesungguhnya berbeda menurut aturan Bahasa Indonesia.
            Kata Contreng diduga berasal dari bahasa Betawi atau Sunda. Di beberapa blog, ada penulis yang menduga bahwa kata contreng dipakai oleh masyarakat Kota Pamulang, ada juga yang menduga contreng berasal dari bahasa Betawi. contreng dipakai oleh masyarakat Bogor untuk merujuk arti yang sama dengan arti centang. Berdasarkan beberapa keterangan ini, diduga bahwa kata contreng berasal dari bahasa Indonesia dialek Sunda atau Betawi.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tidak ditemukan kata contreng.
            Bagi kalangan tertentu (partai politik) kata contreng mungkin tidak banyak dipersoalkan, tetapi bagi kalangan pengguna Bahasa Indonesia yang baik dan benar kata contreng belum dibenarkan. “Ada yang berpendapat bahwa yang penting rakyat mengerti. Jadi, penggunaan kata atau istilah apa pun boleh-boleh saja.” Menurut hemat penulis penggunaan contreng masuk arbiter (semena-mena atau sesukanya) dan hanya berlaku untuk kalangan terbatas (meskipun kata itu belum dibakukan dalam Bahasa Indonesia).
            Pada awal sosialisasi contreng ini, pemahaman masyarakat Indonesia menjadi beragam. Masyarakat di Aceh (NAD) kurang memahami istilah contreng. Mereka lebih mengenal pemberian tanda √ pada kertas suara dengan istilah conteng. Istilah contreng juga menimbulkan kebingungan tersendiri bagi masyarakat di Kalimantan Tengah karena mereka lebih mengenal istilah centang.
Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 03 Tahun 2008 pada Pasal 26, ayat (3), butir (g), halaman 19, Keputusan KPU tertulis:
Tata cara pemberian suara pada surat suara, ditentukan : 1) menggunakan alat yang telah disediakan; 2) dalam bentuk tanda V (centang) atau sebutan lainnya; 3) pemberian tanda V (centang) atau sebutan lain, dilakukan satu kali pada kolom nama partai atau kolom nomor calon atau kolom nama calon anggota DPR/DPRD provinsi/DPRD Kabupaten/Kota; 4) pemberian tanda V (centang) atau sebutan lain dilakukan satu kali pada foto salah satu calon anggota DPD; 5) tidak boleh membubuhkan tulisan dan catatan lain pada surat suara; dan 6) surat suara yang terdapat tulisan dan atau catatan lain, surat suara tersebut dinyatakan tidak sah.
Dalam peraturan  tersebut tidak terdapat istilah conteng maupun contreng, namun keterangan atau sebutan lain telah membuka ruang bagi beredarnya istilah contreng di media masa karena mungkin mereka lebih suka menggunakan istilah contreng.

Conteng
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dinyatakan bahwa kata conteng memiliki makna sebagai berikut:
con·teng /conténg/ (nomina), yang berarti coret (palit) dengan jelaga, arang, dsb.; coreng;                                                                                      
ber·con·teng-con·teng (verba), yang berarti ‘ada conteng-contengnya; bercoreng-coreng (dengan arang, jelaga, dsb.).' Contoh: Mukanya berconteng-conteng; Papan tulis itu berconteng-conteng dengan kapur.                                          
men·con·teng (verba), yang berarti ‘mencoreng dengan arang (tinta, cat, dsb.).' Contoh: Anak itu menconteng alisnya dengan arang; Menconteng arang di muka. (peribahasa), yang artinya ‘memberi malu.'                   
men·con·teng-con·teng (verba), artinya ‘mencoreng-coreng (memalit-malit, mencoret-coret) dengan arang (tinta, kapur, dsb.).' Contoh: Anak itu menconteng-conteng dinding rumah kami
men·con·teng·kan (verba), artinya ‘mencorengkan; memalitkan.'  Contoh: Ibarat mencontengkan arang di dahi sendiri (Peribahasa).                
ter·con·teng (verba), memliki dua arti: 1. 'sudah diconteng(kan)'; 2. ‘kena noda (aib, malu)'. Contoh: Terconteng arang di muka. (Peribahasa), yang artinya ‘mendapat malu.'
Berdasarkan definisi di atas, istilah conteng tidak berhubungan dengan proses pemberian tanda √ dalam pemilu. Menurut kami,  kata  conteng ini baru muncul pada saat seseorang memberikan sosialisasi menjelang Pemilu 2009. Hal ini terjadi karena di dalam Pasal 26 ayat (3) butir g angka 2) dan 3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2009 memungkinkan seseorang menggunakan sebutan lainnya . Oleh karena itu, muncullah istilah conteng. Oleh sebagian orang, hal itu turut dibenarkan dan turut pula disosialisasikan kepada masyarakat, padahal dalam Bahasa Indonesia maknanya belum ditemukan.
Kata conteng memang tergolong kata baku, namun kata “conteng kurang tepat jika dipakai dalam konteks Pemilihan Umum 2009, sebab akan banyak bentuk coretan yang dilakukan masyarakat. Secara etimologi ‘conteng’ berarti coret. Yang dimaksud dengan coret dapat berarti memberi tanda check (), silang (X), = (sama dengan), atau coreng dengan tinta, arang, atau apa saja.

Contreng
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dari Pusat Bahasa Depdiknas yang telah menjadi sumber rujukan, sumber penggalian ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta peradaban Indonesia tidak memuat istilah ini.

Centang
            Dalam peraturan yang dibuatnya, KPU telah menggunakan istilah yang seharusnya digunakan, yaitu centang.  Kata centang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), memiliki makna sebagai berikut:
cen·tang /céntang/ (nomina), yang berarti ‘tanda koreksi, bentuknya seperti huruf V atau tanda cawang.' Jika diberi awalan /me-/ menjadi men·cen·tang (verba) yang berarti  ‘membubuhi coretan tanda koreksi (V);                    
Jika cen·tang /céntang/ dijadikan bentuk perulangan, menjadi  cen·tang-pe·re·nang (ajektiva), yang berarti ‘tidak beraturan letaknya (malang melintang dsb.); porak-parik; berantakan.' Contoh: Segalanya centang-perenang di ruangan itu .      
ke·cen·tang-pe·re·nang·an (nomina), yang berarti ‘keadaan yang centang-perentang.' Contoh: Kecentang-perenangan dalam mengatur jadwal sering terjadi jika dilakukan terburu-buru.                                                                                      
Kata  ‘centang ’ dipakai di dalam Pasal 26 ayat (3) butir g angka 2), 3), dan 4) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2009 yang isinya, yaitu:
tata cara pemberian suara pada surat suara, ditentukan:
1.      menggunakan alat yang telah disediakan;
2.      dalam bentuk tanda (centang ) atau sebutan lainnya ;
3.      pemberian tanda (centang ) atau sebutan lain , dilakukan satu kali pada kolom nama partai atau kolom nomor calon atau kolom nama calon anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota;
4.      pemberian tanda (centang) atau sebutan lain dilakukan satu kali pada foto salah satu calon anggota DPD;
KPU dalam peraturannya, telah menggunakan istilah baku yang terdapat di dalam KBBI, namun memungkinkan seseorang menggunakan sebutan lainnya. Oleh karena itu, muncullah istilah conteng dan contreng. Istilah centang merupakan istilah yang baku. Tanda centang berarti tanda √, maka  pemakaian istilah centang lebih tepat digunakan.
Kata “centang merupakan istilah yang baku. Tandacentang berarti pula memberikan tanda check atau tanda koreksi (). Jika di dalam pemilihan umum nanti yang dimaksdukan memberi tanda check atau tanda koreksi () pada nomor atau angka seorang calon maka  pemakaian kata “centang lebih tepat digunakan.





Tata Cara Pemungutan Suara
Bagannya seperti ini:
Detail pemungutan suara adalah seperti ini:
·         Pemilih masuk ke Tempat Pemungutan Suara(TPS) sesuai yang tercantum di undangan pemberitahuan (c4). 
·         Daftarkan diri Anda di meja pencatatan kehadiran pemilih dengan menyerahkan undangan tersebut. Apabila undangan rusak atau hilang dapat dengan mempergunakan KTP. 
·         Silakan duduk di tempat yang disediakan sambil menunggu nama Anda dipanggil petugas. Lho ngantri kok sambil lirak lirik Pakdhe.
·         Saat dipanggil silakan menuju ke tempat petugas untuk menerima 4 buah surat suara (Untuk DKI Jakarta menerima 3 buah). Surat suara tersebut untuk memilih anggota DPR RI, DPD, DPRD Propinsi, DPRD Kota/Kabupaten (kecuali Jakarta). 
·         Pemilih menuju bilik suara dan melakukan pencontrengan. Wah kayak baca koran karena besarnya surat suara.
·         Silakan mencontreng satu kali pada nama partai atau nama caleg atau nomor caleg di surat suara DPR RI dan DPRD. Mencontreng pada kolom foto di surat suara DPD. 
·         Setelah selesai kemudian surat suara dimasukkan ke dalam kotak suara.
·         Tahap selanjutnya adalah mencelupkan jari ke dalam tinta sebagai tanda telah memberikan suara. Biasanya satu jari, tapi kalau mau semua jari juga boleh, buat kenang-kenangan hehe . 
·         Pemilih meninggalkan TPS.
Cara Mencontreng
Suara Sah
·         Untuk memilih anggota DPR RI dan DPRD adalah dengan memberi contreng/tanda centang (v) pada:
o    Nama partai (gambar dan nomor urut partai juga boleh) atau
o    Nomor urut caleg atau
o    Nama caleg.
·         Untuk memilih anggota DPD  dengan mencontreng di kolom foto.
Selain itu, tanda coblos, tanda silang (x), tanda garis datar (-) serta tanda centang (v) yang tidak sempurna yaitu dalam bentuk (/) atau (\), suaranya tetap dianggap sah.
Suara Tidak Sah
-          Tidak sah apabila mencontreng lebih dari satu kali dalam partai yang berbeda di surat suara DPR RI dan DPRD.
-          Tidak sah apabila mencontreng lebih dari satu kali dalam foto yang berbeda di surat suara DPD.
Sumber penulisan diatas dari materi sosialisasi pemilu yang ada di Media Center KPU.

PENUTUP
            Berdasarkan hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kesalahan penggunaan kata contreng maupun conteng dalam berbagai media cetak dan elektronik pada kasus Pemilu didasarkan oleh beberapa faktor.  Faktor yang mempengaruhi antaralain: sosiokultural, keterlibatan pers dalam menyiarkan penggnaan kata tersebut, dan ketidaktahuan pengguna bahasa baku.



SUARA MARJINAL: IDEOLOGI KEPENGARANGAN  PEREMPUAN

Febria Ratnasari, S.S

Alumnus Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Jember,
e-mail: faizzhaikalnadildira@yahoo.co.id

Abstrak

Membahas perempuan tentu saja tidak terlepas dari masalah seks, politik tubuh, komodifikasi tubuh sebagai bagian dari penolakan sekaligus eksistensi diri perempuan. Sebelum memasuki tahun 2000-an, jarang sekali ditemukan karya-karya yang membahas secara terperinci tentang permasalahan kaum perempuan secara spesifik; baik dari pembahasan mengenai kejiwaan diri perempuan, masalah tubuh, seks, dan pemikiran diri perempuan. Gaung pendobrakan tabu digencarkan oleh penulis perempuan sastra wangi. Para perempuan sastrawangi yang karyanya menjadi sorotan publik antara lain Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan Oka Rusmini dengan maha karyanya Saman, Nayla, dan Tarian Bumi. Ketiga novel tersebut mengusung diskriminasi terhadap perempuan sehingga memunculkan resistensi dalam diri perempuan. Membaca suara perempuan diharapkan dapat memberikan pemahaman agar tidak selalu terjadi penghakiman moral, eksploitasi perempuan, pelabelan negatif terhadap perempuan; tanpa melihat ideologis dan proses yang terjadi di dalamnya.

Kata kunci: ideologi, perempuan, sastrawangi


1.    Pendaduluan

            Penelitian sastra feminis masih sering “berkelamin tunggal”, dapat terkurangi sedikit demi sedikit. Maksudnya, sering peneliti tertentu masih memandang perempuan dari wacana laki-laki. Peneliti masalah gender jarang yang  mampu melihat permasalahan perempuan dengan “kacamata” perempuan. Akibatnya sering terjadi penelitian feminisme yang bias gender. Peneliti pun kadang-kadang masih bersikap “pilih kasih” terhadap karya-karya tertentu, sehingga hasilnya mengecewakan semua pihak (Endraswara, 2003:145).
Lakoff who believes who believes that women’s language actually is inferior, since it contains patterns of ‘weakness’ and ‘uncertainty’, focuses on the ‘trivial’, the frivolous, the unserious, and stresses personal emotional responses. Male utterance, she argues, is ‘stronger’ and should be adopted by women if they wish to achieve social equality with men. Most radical feminist take the view that women have been brain-washed by this type of patriarchal ideology which produces stereotypes of strong men and feeble women (Selden, 1985:131).

Lakoff percaya dan mempercayai bahwa bahasa perempuan sebenarnya lebih rendah, karena berisi pola 'kelemahan' dan 'ketidakpastian', berfokus pada hal 'sepele', yang sembrono, yang tidak serius, dan menekankan respon emosional pribadi. Ucapan laki-laki itu, menurutnya, adalah 'kuat' dan harus diadopsi oleh perempuan jika mereka ingin mencapai kesetaraan sosial dengan laki-laki. Kebanyakan feminis radikal mengambil pandangan bahwa perempuan telah dicuci otak oleh jenis ideologi patriarki yang menghasilkan stereotip pria kuat dan wanita lemah).

Lakolf seorang sosiolinguis memiliki pandangan bahwa perempuan secara nyata memang rendah, karena memuat pola “kelemahan” dan ‘ketidakpastian”, berfokus pada yang dangkal, sembrono, tidak serius, dan menekankan pada tanggapan pribadi yang penuh perasaan. Ucapan lelaki dianggap “lebih kuat” dan hendaknya diambil oleh perempuan  jika mereka ingin mendapatkan persamaan sosial dengan para lelaki. Kebanyakan penganut feminis radikal memiliki pandangan bahwa para perempuan telah dicuci otaknya oleh ideologi patriarkal yang menghasilkan gambaran stereotip lelaki yang kuat dan perempuan adalah makhluk lemah. Ucapan perempuan dianggap sebagai ucapan yang tidak berbobot dan tidak memiliki kepastian, sedangkan perkataan laki-laki dianggap lebih kuat. Hal ini juga dipengaruhi oleh konstruksi masyarakat yang menganggap perempuan lebih bersifat emosional dalam berpikir, sedangkan laki-laki lebih menggunakan rasio.
Kedudukan perempuan yang menjadi objek dalam penciptaan karya sastra menimbulkan adanya persepsi kurang baik dan sebuah pandangan tersendiri terhadap perempuan; perempuan tidak memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki. Perempuan juga tidak berdaya intelektual tinggi, selain itu juga dapat menimbulkan pandangan lain tentang perempuan, yaitu selalu dianggap lemah, tidak kreatif, berperan domestik, dan selalu berada pada kekuasaan laki-laki. Adanya anggapan-anggapan tentang kedudukan perempuan tersebut, mendorong perempuan untuk menjadi maju. Seiring dengan meningkatnya kemakmuran dan pendidikan perempuan akibat industrialisasi. Jumlah pembaca menjadi meningkat, dan perempuan juga menjadi pembaca utama karya-karya sastra yang terbit pada era modern.
Para feminis menyadari ada ketidakadilan yang dialami perempuan dalam karya sastra. Beauvoir mengungkapkan bahwa pengarang laki-laki tidak akan pernah dengan tepat menggambarkan perempuan. Deskripsi perempuan diuraikan sebagaimana mitos yang mereka ciptakan. Sedangkan Millet menekankan pada sexual politics, analisis seksualitas perempuan dinilai dengan penilaian patriarkis yang membuat gambaran perempuan menjadi bias. Millet juga mengkaji bahwa sastra dapat menciptakan ideologi. Di sisi lain, Betty Friedan dan Germain Geer menerapkan bahan kritik dalam menganalisis budaya. Friedan mendeskripsikan media konsumerisme perempuan seperti dalam majalah perempuan yang mengungkapkan posisi perempuan dalam sistem patriarkat (Sugihastuti dalam Anoegrajekti, 2010a:33).
Hal tersebut juga dipengaruhi oleh pandangan atau ideologi kelompok tertentu terhadap suatu kelompok lainnya. Ideologi diartikan sebagai sekumpulan ide-ide yang dimaksudkan untuk mendahulukan kepentingan-kepentingan kelompok sosial tertentu. Sering juga menimbulkan kerugian untuk orang lain.  Cavallaro (2004:136-137) mendefinisikan ideologi sebagai sekumpulan ide, cita-cita, nilai atau kepercayaan; suatu media tempat sebuah budaya membentuk dunianya; ide-ide yang diunggulkan oleh kelas sosial, gender atau kelompok ras tertentu; dan nilai-nilai yang melanggengkan struktur kekuasaan dominan.
Ratna (2005:417) mengungkapkan bahwa sastra perempuan harus dibedakan dengan sastra laki-laki, baik dalam kaitannya dengan penulis maupun pembaca. Dalam hubungan inilah kemudian berkembang istilah, seperti: androcentric (andro berarti ‘laki-laki’, ‘berpusat pada laki-laki’), phallocentric (phallo berarti ‘kelamin laki-laki’, jadi juga ‘berusat pada laki-laki’), androtext berarti ‘ditulis oleh laki-laki’, gynotext berarti ‘ditulis oleh perempuan’, gynocritic berarti ‘studi mengenai perbedaan antara tulisan perempuan dengan tulisan laki-laki’, yang ditulis oleh perempuan.
Cixous menekankan kajiannya pada dunia sastra dengan mengontraskan gaya menulis perempuan dan gaya menulis laki-laki. Menurutnya gaya menulis laki-laki mengakar pada libidonya, phallusnya. Tulisannya berorientasi phallogosentrik writing. Perempuan dilukiskan lemah lembut, keibuan, bahkan penggoda laki-laki. sebaliknya, Cixous menginspirasi menulis secara femine writing dengan mengeksplorasi persoalan seksualitas, erotisme, dan feminitas. Cixous mengungkapkan, tulisan yang baik penuh dengan gairah dan bukan karena adanya rasio. Selain itu, pengarang perempuan lebih mudah untuk mendeskripsikan tokoh perempuan karena pengalamannya sebagai perempuan (Anoegrajekti, 2010a:34).
            Sebuah pencitraan terhadap karya sastra yang ditulis oleh pengarang perempuan maupun pengarang laki-laki tidak terlepas dari kegiatan merepresentasikan sebuah karya sastra. Representasi didefinisikan sebagai tindakan, pernyataan, penggambaran citra (image) mental, sebuah penyajian pandangan atas fakta-fakta atau argumen-argumen (Cavallaro, 2004:69). Sedangkan Anoegrajekti (2010c:x) menyatakan bahwa representasi merupakan sebuah konstruksi imaji atau penyajian kembali kenyataan dalam bentuk visual dan verbal yang menyiratkan makna dan ideologi tertentu.
            Menurut Abrams (dalam Cavallaro, 2004:70), representasi dapat diibaratkan sebagai cermin dan lampu. “Cermin” meliputi gagasan bahwa pikiran merefleksikan dunia luar. “Lampu” mencakup ide bahwa pikiran memancarkan cahayanya sendiri pada objek yang dilihatnya. Citra pikiran sebagai alat yang pada dasarnya bersifat pasif, digeser oleh citra pikiran sebagai sebuah kekuatan, kreatif dan aktif. Berdasarkan hal tersebut, sebuah representasi dapat mewakili hal-hal yang ditafsirkan dan pada akhirnya dapat mewakili apa pun yang sanggup memberikan kesan, representasi mempunyai representasional yang tidak terbatas.



2. Suara Marjinal: Ideologi Kepengarangan Perempuan
Karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang perempuan sampai saat ini masih terbilang sedikit, apabila dibandingkan dengan karya sastra yang dihasilkan penulis laki-laki. Hal ini juga berkaitan erat dengan konstruksi masyarakat yang menilai bahwa penulis perempuan tidak memiliki intelektual yang tinggi,[1] selain itu perempuan juga dianggap sebagai makhluk yang lemah, dan tidak kreatif dalam menghasilkan suatu karya. Adanya stereotip tersebut membuat kaum perempuan  meningkatkan kualitas pendidikannya.[2] Sejak saat itu, perempuan berjuang untuk mendapatkan haknya agar dapat menempuh pendidikan sehingga memiliki wawasan yang luas dan memiliki bahan acuan untuk menciptakan suatu karya sastra.
Pengarang perempuan sejak dulu tidak mendapatkan tempat yang spesial bagi kalangan pembaca, sebab karyanya dianggap tidak sebagus dengan karya sastra yang ditulis oleh pengarang laki-laki. Karya sastra yang ada selama ini didominasi oleh  pengarang laki-laki, termasuk karya sastra yang mengangkat tema-tema perempuan.
Karya sastra yang selama ini didominasi oleh penulis laki-laki, sepertinya hal itu mulai berubah. Sudah terlihat adanya perkembangan dalam gerakan kesadaran penulis perempuan untuk menuangkan kemampuannya dalam hal tulis-menulis. Diyakini pula bahwa selama dasawarsa terakhir ini, kemunculan karya sastra oleh penulis perempuan sudah mengalami peningkatan yang sangat pesat. Masalah yang diangkat oleh pengarang perempuan ini pun sudah merujuk pada tema-tema yang berusaha untuk membuka cara pandang masyarakat dan berusaha  merenungkan kembali konstruksi budaya yang terlanjur melekat dalam masyarakat.
N.H. Dini adalah salah satu pengarang perempuan yang pernah mengangkat masalah seksualitas perempuan. Melalui novelnya, Pada Sebuah Kapal, N.H. Dini berusaha mengungkapkan bahwa permasalahan-permasalahan yang menyangkut perempuan juga perlu dibahas. Menurut Sunarti (2011:2), N.H. Dini menyampaikan keberanian seorang tokoh perempuan untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Novelnya yang berjudul Pada Sebuah Kapal dianggap sebagai novel yang mengumbar erotisme perempuan. Selain N.H. Dini, muncul juga pengarang-pengarang perempuan yang membahas masalah perempuan dan seksualitas, salah satunya adalah karya-karya sastra tahun 2000-an (sejak munculnya novel Saman) atau yang sering disebut dengan istilah sastrawangi. Budianta (dalam Listiawati, 2008:41-42) mengungkapkan bahwa kegiatan menulis dari seluruh pengarang perempuan tersebut merupakan suatu bentuk resistensi terhadap perempuan, karena wilayah tulisan sering dianggap lebih dikuasai oleh laki-laki (perempuan hanya ditempatkan di wilayah oral atau wilayah gosip).
Pada masa pemerintahan Orde Baru, teks sosial maupun politik dalam sastra modern yang dapat disebut juga sebagai sastra sosial merupakan persoalan yang dianggap subversif, tabu, dan mengandung resiko yang sangat fatal dan nyata bagi sastrawannya seperti yang telah dialami oleh W.S. Rendra dan Pramoedya Ananta Toer. Pada masa itu karya sastra tidak bisa sebebas seperti saat ini, tema-tema karya sastra yang dianggap bertentangan dengan pemerintah akan dibredel dan ditarik dari pasaran.
Pada masa pemerintahan Soeharto, karya-karya yang dianggap berbahaya bagi pemerintah justru mendapatkan perhatian khusus dari pembaca. Karya-karya yang diblacklist oleh pemerintah menjadi karya yang banyak dicari oleh pembaca. Pada masa itu, tidak banyak penulis yang berani menuliskan karya sastra yang bertema “nyeleneh” (bertentangan dengan pemerintah), penulisnya akan diberikan hukuman, bukan hanya karyanya yang ditarik dari pasaran, tetapi juga penulisnya dipenjara. Oleh sebab itu, pada masa Soeharto, penulis sangat berhati-hati menuliskan karyanya, terutama karya sastra yang membahas masalah sosial politik.
Sejak dulu, pemahaman terhadap unsur-unsur sastra dinilai atas dasar paradigma laki-laki; dengan adanya pandangan yang menganggap perempuan sebagai kelompok yang lemah, sebaliknya laki-laki sebagai kelompok yang lebih kuat. Contoh karya sastra yang didominasi oleh laki-laki sebagai tokoh utamanya, seperti: Rama, Arjuna, Sutasoma, Hang Tuah, dan sebagainya. Dalam sastra modern, masih juga didominasi oleh tokoh-tokoh laki-laki, dengan menonjolkan permasalahan kaum laki-laki. Kenyataan tersebut mulai menunjukkan perubahan sejak tahun 1970-an, sejak lahirnya novel populer yang diikuti oleh hadirnya sejumlah pengarang perempuan dan membahas masalah-masalah perempuan, sekaligus tokoh-tokoh perempuan. Karya-karya N.H. Dini, Titie Said, dan Marga T., menampilkan masalah-masalah dan tokoh-tokoh perempuan (Ratna, 2005:419-420).
Selama dasawarsa ini, banyak bermunculan karya sastra yang diciptakan oleh pengarang perempuan. Sejak diterbitkannya novel Saman (1998) dan Larung (2001) karya Ayu Utami yang bertemakan masalah perempuan dan seksualitas, maka muncul pula karya-karya yang bertemakan sejenis.  Meskipun karya para pengarang perempuan yang baru bermunculan di tahun 2000-an itu tidak selalu membahas masalah seksualitas dan berlatar penceritaan kota metropolitan, namun karya-karya mereka lebih menekankan masalah penindasan yang dialami oleh perempuan, sehingga kaum perempuan berusaha bangkit melawan ketertindasan. Karya-karya tersebut sangat menarik apabila dilihat dari sisi feminismenya. Pengarang-pengarang tersebut yang lahir setelah munculnya karya-karya Ayu Utami antara lain: Djenar Maesa Ayu (Nayla),  Oka Rusmini (Tarian Bumi), Abidah El Khalieqy (Perempuan Berkalung Sorban), Kirana Kejora (Elang),  Fira Basuki (Jendela, Pintu, dan Atap), Dewi Lestari (Supernova), Nukila Amal (Cala Ibi).
Awalnya karya-karya yang membahas mengenai perempuan mendapatkan pertentangan dari berbagai pihak. Pro dan kontra terhadap karya-karya yang bertemakan emansipasi perempuan, terutama yang mengungkapkan masalah seksualitas dianggap sebagai karya yang hanya mengekspos seks dan melanggar norma-norma dalam masyarakat. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Sunarti (2011:2) yang mengungkapkan bahwa ketika sejumlah pengarang muda perempuan membicarakan seksualitas dalam karya mereka, akan mendapatkan reaksi yang sangat keras dari berbagai kalangan. Mereka dituding telah mengekspos seks dan tubuh perempuan secara membabi buta dan melanggar norma-norma yang berlaku di tengah masyarakat luas.
Munculnya penulis perempuan tersebut juga diikuti oleh isu yang tidak baik. Loekito (dalam Sunarti, 2011:2) menyatakan bahwa penulis perempuan tersebut juga dibantu oleh penerbit yang hanya mengandalkan keuntungan materiil dan bersekutu menerbitkan karya mereka. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, sebab sampai saat ini banyak penulis perempuan yang muncul pada tahun 2000-an masih aktif menuliskan tema-tema tentang perempuan dan masih menghasilkan karyanya sampai saat ini. Misalnya saja Ayu Utami, sejak kemunculan Saman (1998), ia menerbitkan Larung (2001), kumpulan esai Si Parasit Lajang (2003), Bilangan Fu (2008), Manjali dan Cakrabirawa (2010), dan novelnya yang baru diterbitkan bulan Februari Cerita Cinta Enrico (2012). Memang tidak dapat dipungkiri peran serta penerbit dalam menerbitkan karya penulis perempuan ini. Kesuksesan yang didapat penulis perempuan  tidak lantas  hanya berpusat pada kekuasaan penerbit, sehingga memunculkan karya yang tidak berkualitas atau hanya muncul serentak lalu hilang begitu saja. Selain Ayu Utami, banyak penulis lainnya yang juga aktif menuliskan karya sampai saat ini. Misalnya Djenar Maesa Ayu, setelah menuliskan Mereka Bilang, Saya Monyet (2002), Jangan Main-main (dengan kelaminmu) (2005), serta Nayla (2005). Djenar masih aktif menulis sampai saat ini.
Listiana (2008:43) menyatakan bahwa novel Saman diterbitkan saat  rezim Orde Baru masih berkuasa. Novel ini menceritakan bukan hanya masalah seksualitas, melainkan juga mengangkat tema-tema politis, terutama gugatan terhadap kekuasaan Orde Baru yang militeristis dengan segala kekuasaan patriarkis.  Pendapat Listiana tersebut secara tersirat mengungkapkan bahwa novel Saman tidak hanya membahas masalah seksualitas saja, namun juga ada unsur-unsur politik yang jauh lebih menarik untuk dibahas, mengingat karya itu diciptakan saat Soeharto masih berkuasa. Tema seksualitas dalam novel Saman memang tidak dapat dipungkiri sangat menarik untuk dianalisis. Hal ini terbukti, sejak kemunculan novel Saman sebagai pelopor novel dengan pembawa “ideologi keterbukaan baru”, muncullah karya-karya (menghasilkan epigon) yang membahas masalah yang serupa.
Kemunculan pengarang muda yang mengangkat permasalahan perempuan lebih dikenal dengan istilah sastra wangi. Sastra wangi adalah sebutan untuk pengarang perempuan muda, cantik, dan berintelektual tinggi.[3] Karya-karya mereka mengangkat tema-tema yang hampir mirip. Pengarang perempuan yang tergolong dalam sastra wangi adalah pengarang muda yang menulis di tahun 2000-an (setelah terbitnya novel Saman). Penyebutan istilah sastra wangi ternyata tidak sepenuhnya diterima oleh penulis yang bersangkutan. Misalnya saja Djenar Maesa Ayu saat dimintai keterangan saat diwawancarai oleh Laksmini (dalam Budiman, 2005:11-12) mengemukakan bahwa para penulis itu (sastra wangi) pada kenyataannya memiliki gaya penulisan yang berbeda dan kalaupun ada persamaan, mungkin persamaan itu hanya hadir dalam tataran tematik. Djenar bahkan tidak mengetahui kemiripan peristiwa tema-tema yang dimaksud oleh masyarakat. Ia sendiri juga masih meragukan makna dari istilah “sastra wangi” tersebut.
Saroso (dalam Listiana, 2008:43) mengungkapkan bahwa kemunculan istilah sastrawangi disebabkan oleh penciptaan karya sastra oleh kaum perempuan dan menemukan kebangkitannya. Selan itu, muncul juga anggapan bahwa sastra wangi merupakan karya sastra yang diciptakan oleh pengarang perempuan yang berprofesi sebagai selebrit. Wacana sastra wangi sering didefinisikan beberapa pihak sebagai karya sastra yang dihasilkan pengarang perempuan, sehingga pengertian sastra wangi mengandung makna konotasi yang feminim yang dapat dikuasai dan dinikmati.
 Istilah sastra wangi sering dikaitkan dengan pengarang yang cantik, seksi, perempuan yang berpikiran modern, harum, dan karyanya selalu laris di pasaran. Hal ini dibantah oleh Cristanty (dalam Budiman, 2005:11) yang mengaku agak keberatan dengan label tersebut. Hal itu dianggapnya terlalu berlebihan, apabila penulis yang tergolong dalam sastra wangi dikaitkan dengan soal fisik penulis yang wangi. Apabila penggolongan sastrawan hanya digolongkan berdasarkan fisiknya saja, ia tidak setuju. Ia berujar, “misalnya, saya termasuk orang yang nggak selalu wangi dan kadang-kadang nggak mandi juga”.  Linda mengaku berasal dari keluarga yang egaliter, dan berperan gender bukan merupakan persoalan dalam keluarga. Meski pernah ada masa ketika ia terpikat pada feminisme, isu tubuh dan seksualitas perempuan tidak menjadi isu yang genting dalam pengalaman konkretnya dengan kehidupan. Ia menilai bahwa pelabelan “sastra wangi” mengandung istilah yang sarat acuan, dan semuanya kurang menguntungkan “penulis perempuan”.
Menurut Sunarti (2011:2), ketika perempuan berbicara seksualitas dalam karya sastra, mereka dinilai telah memasuki wilayah yang dianggap tabu. Tulisan mereka dianggap sebagai sebuah fenomena yang mengumbar erotisme demi kepopuleran dan ketenaran semata. Cara pengungkapan yang demikian telah dianggap  menjadi trendsetter dalam penciptaan karya-karya pengarang perempuan Indonesia lainnya sehingga muncullah karya-karya serupa, khususnya di kalangan penulis Indonesia akhir-akhir ini.
Sunarti (2011:2) menyatakan bahwa kehebohan yang berkaitan dengan representasi seksualitas pengarang Indonesia bermula dari munculnya novel Saman (1998) dan novel Larung (2001) karya Ayu Utami. Kehadiran kedua novel tersebut menjadi pencetus bagi kemunculan karya-karya sejenis yang dihasilkan oleh pengarang perempuan lainnya seperti, Ode untuk Leopold von Sacher Masoch (2002) karya Dinar Rahayu; Mereka Bilang, Saya Monyet (2002) karya Djenar Maesa Ayu; Imipramine (2004) karya Nova Riyanti Yusuf; dan Jangan Main-main (dengan Kelaminmu) (2005), serta Nayla (2005) juga karya Djenar Maesa Ayu serta banyak pengarang perempuan lagi yang menghasilkan karya yang tidak jauh berbeda. 
Pembahasan mengenai cara pandang Ayu Utami dalam melahirkan karyanya mendapatkan apresiasi dari berbagai kalangan. Karya Ayu Utami ini seperti membawa pencerahan kembali bagi kaum perempuan. Telah lama pembaca tidak mendapatkan “angin segar” terhadap bacaan-bacaan yang mengungkapkan ketertindasan kaum perempuan dan menampilkan seksualitas perempuan sebagai makhluk yang dapat berperan sebagai subjek. Hal ini juga diutarakan oleh Bandel (2006:102) yang menyatakan bahwa Ayu Utami telah berhasil menciptakan representasi seksual yang berbeda. Ide-ide yang diungkapkan secara up to date karena sepertinya disesuaikan dengan metode-metode mutakhir. Representasi seksual Ayu Utami memiliki pesan yang provoaktif,  memprotes stereotip pasif perempuan, menolak falosentrisme, dan mengakui orientasi seksual yang plural.
Supiastutik (2007:20) menyatakan bahwa novel Saman diterbitkan pada saat yang tepat, yaitu ketika masyarakat Indonesia telah jenuh mengalami pengekangan-pengekangan secara sosial dan politik oleh tatanan pemerintahan yang otoriter. Novel ini memberikan sinyal-sinyal kebebasan dan sentuhan-sentuhan nilai yang membebaskan. Novel ini juga mengungkap masalah penderitaan yang dialami masyarakat yang tidak terungkap oleh media masaa. Oleh sebab itu tidak mengherankan apabila novel ini kemudian menjadi laris.
Rengganis dan Pradopo (2005:489) menyatakan bahwa seksualitas perempuan dalam masyarakat Indonesia memiliki “standar ganda” dalam masalah seksualitas yang sering dihadapinya. Ketika masyarakat Indonesia  memiliki cukup toleransi dalam hal hubungan-hubungan seks di luar pernikahan maupun pelacuran; tetapi dalam wacana publik, stereotip-stereotip dan mitos bahwa perempuan harus pasif dan tetap perawan sebelum menikah masih tetap berlaku. Perempuan atau anak perempuan diwanti-wanti untuk menjaga keperawanan, tetapi apabila perempuan tidak kunjung mendapatkan suami atau menjadi perawan tua, maka ejekan dan gosip akan melandanya, yang menjadikan perempuan menjadi posisi yang serba salah untuk menentukan sikapnya dalam masyarakat. Satu hal positif ketika perempuan berani membicarakan seksualitasnya dalam wacana publik. Hal ini dianggap perlu karena secara biologis perempuan lebih banyak dirugikan dalam hubungan persenggamaan daripada lelaki, misalnya resiko hamil dan tidak gampangnya perempuan mencapai kepuasan dalam berhubungan seks. Pembicaraan seks tidak akan menyelesaikan masalah dalam hubungan lelaki-perempuan, tetapi itu tidak berarti buruk. Justru apabila seks dibicarakan dengan cara pandang perempuan, hal ini memungkinkan perempuan untuk menjadi subjek dan bukan objek.
            Mayang Sari[4] beranggapan bahwa semangat pembebasan kaum perempuan dalam novel-novel mutakhir yang popular, seperti Saman karya Ayu Utami, justru keblinger pada semangat “feminisme sempalan” yang cenderung berorientasi pada kebebasan perempuan untuk menikmati seks di luar nikah dan dari aturan moral. Pembebasan seperti ini justru mengembalikan posisi perempuan sebagai objek kaum lelaki secara lebih ekstrim. Kenyataannya, dalam realitas kehidupan masa lalu dan masa kini, kaum perempuan memang masih cenderung menjadi objek, atau mengobjekkan diri, untuk kaum lelaki.
Pendapat Mayang Sari tersebut tidak sepenuhnya benar. Novel Saman tidak hanya membicarakan tema-tema yang membahas seks sebagai permasalahan yang utama, tetapi juga permasalahan lain yang juga menarik untuk dibahas. Seksualitas yang diungkapkan Ayu Utami pada dasarnya tidak menganjurkan pembacanya menghalalkan segala cara untuk mencapai kepuasan dalam hidup. Novel Saman dihadirkan sebagai sebuah realitas yang ada dalam masyarakat, terutama masyarakat modern yang tinggal di kota-kota metropolitan. Ayu Utami dalam novelnya berusaha mengungkapkan bahwa masalah-masalah seksualitas memang ada dalam masyarakat dan hal itu tidak perlu ditutupi.
Sebagian masyarakat menganggap bahwa masalah seksualitas perempuan bukan merupakan sesuatu yang harus disembunyikan karena tidak pantas untuk diperdengarkan ke masyarakat. Orang tua biasanya tidak menjelaskan mengenai perkembangan seksualitas perempuan dengan detail kepada anak gadisnya. Ada banyak hal tabu pada seksualitas perempuan. Kebebasan seksual perempuan dianggap tabu dan mereka dituntut masih perawan sebelum menikah. Keperawanan dianggap sesuatu hal yang paling penting bagi perempuan. Hal ini juga dibenarkan pula oleh Ayu Utami (dalam Rengganis dan Pradopo, 2005:489-490) yang menyatakan bahwa pembicaraan seks dengan cara pandang perempuan sangat penting, terutama pemaparan tentang banyaknya mitos tentang seks yang perlu diluruskan kembali. Demikian juga dengan “pengotakan” lelaki-perempuan dalam konteks seksual. Mengenai soal keperawanan yang menempatkan perempuan dalam posisi yang kalah, perempuan yang sudah tidak perawan dianggap sudah cacat, tetapi nilai itu tidak berlaku bagi lelaki.
            Subjektivitas dalam menyuarakan seksualitas terlihat sangat komplek dalam novel Saman (Rengganis dan Pradopo, 2005:496). Ayu Utami mengungkapkan subjektivitas perempuan-perempuan dalam novel Saman dengan cara-cara yang berbeda. Perempuan dalam novel Saman memiliki kemampuan untuk bersifat aktif maupun pasif dalam membangun subjektivitas mereka dalam teks cerita. Subjek-subjek yang menghasilkan suatu narasi bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk “mengubah’ budaya yang telah mengungkung subjektivitas perempuan.
            Subjektivitas yang dimaksud itu terwakili oleh keempat tokoh perempuan yang diceritakan oleh Ayu Utami, yaitu Shakuntala, Laila, Yasmin, dan Cok. Shakuntala tergolong sebagai perempuan yang memiliki kemampuan aktif dalam menampilkan subjektivitasnya dan menyuarakan seksualitasnya. Shakuntala telah menunjukkan pemberontakan terhadap sistem norma dan aturan yang mengistimewakan keperawanan dan menganggap pernikahan sebagai belenggu bagi perempuan. Shakuntala mampu mengenali tubuhnya sendiri dan mampu menyuarakan seksualitasnya, baik sebagai lelaki maupun sebagai perempuan.   Berbeda dengan Shakuntala,  Laila termasuk perempuan yang hanya memiliki kemampuan pasif dalam menyuarakan seksualitasnya sebagai subjek dalam masyarakat. Kemampuan Laila dalam menyuarakan masalah seksualitasnya sebagai subjek perempuan dalam masyarakat disebabkan oleh sistem norma dan ajaran yang membentuknya memiliki pandangan konvensional mengenai seksualitas. Pandangan itu juga berhasil diubah oleh Laila dengan cara memberontak melalui perilaku seksualnya. Ia berhubungan dengan  Sihar (lelaki beristri) di luar pernikahan.
            Subjektivitas tokoh Yasmin termasuk dalam pandangan perempuan yang moderat. Yasmin tergolong perempuan yang sempurna, memiliki kemampuan menampilkan subjektivitas seksualitasnya secara aktif sebagai subjek perempuan dalam masyarakat. Yasmin membantu proses pelarian Saman ke luar negeri. Sama halnya dengan Yasmin, Cok memiliki pandangan yang moderat mengenai seksualitas dan subjektivitas. Ia memiliki kemampuan aktif dan kebebasan dalam menampilkan subjektivitas dan menyuarakan seksualitasnya. Cok memiliki banyak pengalaman mengenai hubungannya dengan beberapa lelaki. Ia bertindak sebagai subjek yang dapat mengendalikan lelaki, bahkan mempermainkan lelaki dalam kehidupannya.
            Budianta (2003:43) menjelaskan bahwa  penceritaan kisah Adam dan Hawa dalam novel Saman telah mengalami re-kreasi. Hawa yang ditemui Adam adalah Hawa yang terpasung, terpikat menjadi satu dengan pohon buah terlarang. Proses penceritaan Adam dan Hawa ini, Ayu Utami melakukan protes atas pemasungan hak seksual perempuan. Hawa di sini adalah yang mendapatkan buah yang lain (buah zakar Adam), yang memprotes keterpasungan dan dahaganya tetapi tetap menjadi hamba yang secara tidak sengaja memuaskan birahi Adam.
            Ayu Utami dikenal sebagai penulis yang lantang melawan ketertindasan kaum perempuan. Ia sendiri memilih tidak menikah sampai usianya 43 tahun. Kabar yang mengejutkan bagi penikmat sastra, Ayu Utami yang selalu menentang pernikahan[5] justru memutuskan menikah di usia 44 tahun. Pernikahannya ini juga menimbulkan perbincangan di kalangan pembaca. Kumpulan esainya yang berjudul Si Parasit Lajang mengungkapkan beberapa alasannya untuk tetap hidup tanpa ikatan pernikahan. Oleh sebab itu, keputusan Ayu Utami untuk menikah cukup menghebohkan pembaca karya-karyanya.
            Kehidupan baru yang dijalani Ayu Utami setelah menikah tidak mengubah gaya penulisannya serta tema-tema yang diangkat dalam novelnya. Hal ini terbukti dengan terbitnya novel Cerita Cinta Enrico, Ayu Utami tidak melepaskan pembahasan mengenai permasalahan spiritualitas, politik, dan seksualitas sebagai ciri khas penulisannya.
            Jokay[6] menjelaskan bahwa novel  Cerita Cinta Enrico menceritakan  kisah cinta pertama Enrico terhadap ibunya. Sayangnya, setelah kematian kakak Enrico, ibu Enrico memilih menjalankan agamanya secara kaku. Hingga suatu hari ibunya memaksa Enrico dibaptis sebagai Saksi Yehuwa. Saat itu pula, Enrico kecewa terhadap perempuan yang dikaguminya dan memilih untuk tidak beragama. Ayu Utami berpendapat bahwa paksaan yang dilakukan ibunya justru membuatnya tidak ingin beragama dan keluar dari agama yang selama ini diyakininya. Cerita Cinta Enrico juga menggambarkan peran agama dalam pengalaman dan penderitaan manusia. Menurut Ayu, agama sungguh penuh kasih. Ini karena agama sanggup memberi kepastian pada manusia yang lemah dan yang kuat. Pengalamannya mengkritisi agama yang berujung pada keinginan mengkaji ulang agamanya, menjadikan Ayu kerap memaparkan perjalanan spiritual figur dalam setiap karyanya. Ayu Utami juga mengungkapkan beberapa pemikirannya terkait dengan topik-topik seksualitas, yang kerap muncul di novel-novelnya. Menurutnya seksualitas bukanlah sesuatu yang harus ditutupi. Pengetahuan seksualitas pada anak-anak haruslah diarahkan, bukan ditutupi. Perempuan yang dikenal sebagai seorang feminis ini juga mengungkapkan pula tentang alasannya menceritakan pernikahannya dengan Enrico pada akhir novel Cerita Cinta Enrico.[7]   
            Karya pengarang muda lainnya yang mendapat sorotan dari berbagai kalangan pembaca adalah novel Nayla karya Djenar Maesa Ayu. Novel Nayla juga tidak terlepas dari tema-tema seksualitas dan subjektivitas tubuh perempuan, walaupun disajikan dengan cara penceritaan yang berbeda. Pembahasan tema seksualitas yang ditampilkan dalam karya–karya para penulis perempuan tidaklah sama. Sebagian besar tokoh perempuan dalam novel  Saman dengan lantang  mempertanyakan norma–norma patriarki; mereka bahkan menunjukkan pemberontakan dengan melanggar nilai–nilai konvensional. Berbeda halnya dengan kedua novel tersebut, seksualitas dalam karya-karya Djenar Maesa Ayu, tidak sepenuhnya berisi pengukuhan kepercayaan diri dalam membongkar hegemoni. Ketiga karya tersebut juga mengangkat sisi yang lebih kelam dan traumatis dari seksualitas, yang begitu erat dengan penaklukan, ketidakberdayaan dan kekerasan.
            Seksualitas yang tercermin dalam karya-karya Djenar penuh dengan ketidaktahuan dan kegamangan. Budaya Indonesia yang penuh tabu menyebabkan remaja dibiarkan menemukan seksualitasnya sendiri, sehingga dalam pencarian itu sering muncul kesadaran yang salah dan bahkan trauma. Karya -karya Djenar sebagian besar menghadirkan masa remaja yang penuh dengan ketidaktahuan juga rentan akan kekerasan seksual, selain itu secara eksplisit lebih mengulas trauma seksual yang dialami anak-anak/remaja tanpa orang tua sebagai figur panutan. Tokoh-tokoh yang masih sangat belia dipaksa mengenal seksualitas melalui perkosaan. Hal ini mengakibatkan memahami seksualitas sebagai relasi yang tidak seimbang, yaitu saat laki-laki mengambil segala sesuatu dari perempuan untuk menjadi kuat. Semakin banyak laki-laki melakukan kekerasan, semakin besar pula kekuasaannya. Seksualitas begitu mudah mempengaruhi kehidupan remaja sehingga sering terjadi kekerasan seksual maupun kesadaran yang salah tentang hubungan laki -laki dan perempuan. Hal ini diperburuk oleh mitos tabu dalam masyarakat Indonesia yang membuat “benteng” antara dunia remaja dengan seksualitas.
Bandel (2006:151) menyatakan bahwa novel Nayla merupakan cerita yang dibuat berdasarkan pengalaman pribadi pengarangnya. Hal tersebut mempengaruhi kualitas dan mutu novel pertama Djenar Maesa Ayu juga berkurang. Penyebab dari penurunan ini disebabkan karena pengarang terlalu mengutarakan berbagai persoalan dan emosi pribadi dalam karyanya daripada mendalami perkembangam kejiwaan tokoh utamanya. Sang pengarang juga memiliki karakter yang mirip dengan tokoh utama novelnya, yaitu merasa takut pada tokoh-tokoh lainnya dan begitu sulit memahami dirinya sendiri.
Pendapat Bandel tersebut menyiratkan bahwa Novel Nayla kurang memperhatikan kedalaman psikologis tokoh utamanya. Hal itu sepenuhnya tidak  benar, sebab Djenar dalam novelnya Nayla juga membahas mengenai kejiwaan yang dialami oleh tokoh utamanya, yaitu Nayla. Nayla mengalami permasalahan dengan keluarganya, kedua orangtuanya berpisah saat ia dalam kandungan. Nayla mengalami trauma psikologis dan tidak mendapatkan kasih sayang yang sepenuhnya dari kedua orangtuanya. Ia sejak kecil tinggal bersama ibunya dan dididik secara keras oleh ibunya, dengan harapan agar Nayla menjadi perempuan yang mandiri dan tidak lemah. Nayla tidak boleh melakukan kesalahan sedikit pun, sebab akan ia akan dihukum oleh ibunya apabila melakukan kesalahan. Nayla mengalami pemerkosaan yang dilakukan oleh pacar ibunya, hal itulah yang membuat Nayla mengalami tekanan psikologis.
Menurut Sunarti (2012:7) tokoh Nayla mengalami empat trauma dalam kehidupannya. Pertama, pelecehan seksual dan dominasi ibu yang digambarkan sebagai hubungan yang menyakitkan seperti peniti dalam vagina. Kedua, pemerkosaan yang dilakukan oleh pacar ibunya, yaitu Om Indra. Ketiga, kehilangan kasih sayang dari figur ayah yang sempat didapatkannya selama tiga bulan. Keempat, Nayla dicampakan ke Rumah Perawatan Anak Nakal dan Narkotika oleh ibu tirinya. Penceritaan mengenai trauma yang dirasakan Nayla dibahas secara jelas dan terbuka oleh Djenar.
Bandel (2006:144) menilai bahwa novel Nayla kurang membahas kedalaman psikologis tokohnya. Fokus dari novel Nayla yaitu tentang kisah hidup Nayla dari masa kecil sampai tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa. Kisah hidup Nayla diceritakan dengan cukup lancar dan menarik di beberapa bagian, namun kedalaman psikologisnya sangat kurang. Pengalaman Nayla hanya diceritakan begitu saja tanpa mempersoalkan kompleksitas hubungan Nayla dengan orang-orang di sekitarnya, terutama dengan orang tua dan kekasihnya. Persoalan-persoalan psikologis yang menjadi tema utama dalam novel Nayla tidak banyak dieksplorasi.
Listiawati (2008:44) mengungkapkan bahwa para perempuan sastra modern saat ini tidak lagi berhadapan dengan kekuasaan negara, melainkan menghadapi cemooh dari berbagai sastrawan, pengamat sastra, dan sebagian masyarakat Indonesia dengan alasan-alasan moralisme. Karya-karya para pengarang perempuan ini digolongkan sebagai karya seks karena keberanian dan keterbukaannya membahas urusan seksualitas. 
Sulaiman[8] menuliskan hasil wawancaranya dengan Djenar Maesa Ayu tentang permasalahan kevulgaran dalam setiap karya-karyanya. Menurutnya, setiap yang ditulisnya dalam sebuah novel adalah masalah gender. Ketika seorang perempuan seperti sekarang sudah berani mengatakan sesuatu, atau menulis satu kata, mereka lebih mudah dihakimi tanpa dilihat secara keseluruhan esensi dari apa yang ingin diceritakannya. Djenar mengaku bahwa ia dicuriga banyak orang, yang hanya karena rumor, lalu menghakimi hanya dari satu kata, misalnya, 'penis'. Penghakiman itu dikarenakan Djenar menuliskan tentang seks, padahal ia menulis tentang seksualitas, bukan aktivitas seksual, menulis tentang tindak kekerasan pada anak-anak dan pelecehan seksual. Bagi Djenar, pornografi itu punya niatan untuk perangsang. Jadi, tidak mungkin karyanya bertujuan untuk merangsang sebab ia menulis tentang pelecehan seksual pada anak di bawah usia 9 tahun. Djenar merasa diperlakukan tidak adil karena ketimpangan gender. “Ketika ia menulis 'memek' itu menjadi heboh. Padahal, Beni Setia, seorang sastrawan besar dan karya-karyanya pernah masuk di Kompas dan pernah menjadi buku terbaik Kompas dengan tokoh bernama 'memek'; Putu Wijaya memakai judul puisinya 'memek'; Sutardji Calzoum Bachri menyatakan kerinduannya pada 'kontol yang panjang dari pulau ke pulau'; tidak pernah diributkan. Tapi, ketika seorang perempuan menuliskan 'memek', menjadi kontroversial. Jadi, sebetulnya saya pikir ini masalah ketimpangan gender”, tutur Djenar.
            Selain novel Nayla, penulis lain yang mendapatkan perhatian khusus berkat karyanya adalah Oka Rusmini. Ia terkenal bukan karena karyanya yang mengungkapkan tema-tema seksualitas, tetapi lebih menekankan pada permasalahan sosial budaya, terutama di daerah Bali. Pembahasan mengenai kebudayaan juga sangat menarik untuk dibahas, sebab tidak banyak novel-novel yang mengungkapkan kearifan lokal suatu budaya, terutama yang berkaitan dengan masalah perempuan dan gender.
            Haska (dalam jurbalbali.com, 2012) mengungkapkan bahwa tokoh perempuan-perempuan Bali dalam novel telah dihadirkan pengarang sebagai salah satu sarana membangun ruang untuk melakukan sebuah pembacaan lain terhadap tradisi di tengah hadangan modernitas. Ada upaya melakukan reinterpretasi, reposisi  dan rekonstruksi  bagi sebuah  fenomena   baik pada tataran kerangka berpikir  dan perilaku yang  berlanjut sebagai perlawanan kultural terhadap sesuatu yang dianggap simbol kemapanan. Pergulatan tokoh-tokoh perempuan dalam novel para pengarang Bali dapat menjadi  dokumen sejarah yang berguna untuk membangun sistem masyarakat. Novel bukan sekadar fiksi belaka tapi dapat juga menjadi dokumen sejarah yang memberi masukan untuk membangun  kesetaraan gender untuk kehidupan masyarakat.
            Hak perempuan tidak hanya terbatas pada masalah kesehatan, tetapi juga kenikmatan tubuh, yang tampaknya menjadi arena pertarungan antara ‘penulis perempuan’ dan patriarki karena ini adalah sesuatu yang esensial bagi keduanya. Luh Sekar sebagai perempuan berkasta Sudra mengalami perubahan dalam hidupnya setelah menikah dengan Ida Bagus Ngurah Pidada yang bekasta Brahmana. Keputusan yang lain diambil oleh Telaga (anak Luh Sekar), yaitu menikah dengan Wayan Sasmitha yang berkasta Sudra membuat ibunya kecewa. Bagi perempuan Bali, menikah dengan Ida Bagus merupakan suatu berkah karena dapat meningkatkan kehidupannya dalam masyarakat. Keputusan Telaga untuk menikah dengan lelaki berkasta Sudra menunjukkan pergolakan terhadap kemapanan budaya yang selalu meninggikan kasta sebagai pembeda kedudukan seseorang dalam masyarakat. Pernikahan Telaga dengan Wayan dianggap sebagai aib karena saat Telaga memutuskan menikah tidak melaksanakan upacara patiwangi dan tidak meminta izin dari keluarga di griya. Setelah kematian Wayan, barulah Telaga memutuskan melakukan upacara Patiwangi agar merasa tenang menjalani kehidupannya sebagai perempuan Sudra.
            Anoegrajekti (2010:566-567) mengungkapkan  bahwa ritual Patiwangi yang ada dalam masyarakat Bali merupakan jalan bagi perempuan Brahmana yang menikah dengan laki-laki Sudra untuk menerima secara ikhlas perkawinannya, dan keluar dari sorohnya. Untuk menghindari perkawinan antarkasta dimunculkan istilah Menek wangi. Menek wangi merupakan ritual untuk perempuan dari kasta rendah menikah dengan lelaki yang memiliki kasta tinggi, sehingga kedudukan perempuan menjadi terhormat.
            Al-Ma’ruf (2011:37) mengungkapkan bahwa Oka Rusmini melalui novelnya Tarian Bumi juga mengungkapkan spririt multikultural sebagai media resistensi kultural terhadap ketatnya tradisi dalam masyarakat Bali yang masih hidup sampai sekarang. Tarian Bumi merupakan perlawanan terhadap budaya patriarkal, dalam artian kaum pradana (penari) tetap mampu eksis, berperan, dan survive dalam budaya patriarkal. Luh Sekar, seorang gadis desa yang merasa dihina oleh masyarakat karena ayahnya adalah pemberontak desa dan sebagai anggota PKI. Ia berusaha untuik mengangkat derajat dirinya dengan menjadi pragina joged bungbung. Dengan menjadi seorang pragina, ia berharap dapat meningkatkan statusnya dari orang berkasta Sudra menjadi orang yang terhormat.
            Berdasarkan analisis mengenai ideologi kepengarangan perempuan, terutama pengarang sastrawangi dapat disimpulkan bahwa banyak pengarang perempuan yang muncul setelah terbitnya novel Saman. Kemunculan pengarang tersebut yang serentak dan “menjamur” mendapatkan perhatian pro-kontra masyarakat. Banyak masyarakat yang menilai kemunculan pengarang perempuan pasca-Orde Baru ini menunjukkan adanya eksistensi kaum perempuan dalam hal menghasilkan karya tulisan. Hal ini juga didasarkan pada realita bahwa selama ini karya sastra Indonesia didominasi oleh penulis laki-laki.
            Adanya peran serta perempuan dalam bidang penulisan karya sastra dapat mematahkan pendapat yang menyatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, tidak berintelektual tinggi, dan hanya mengandalkan emosi dalam bertindak. Perempuan juga dapat membuktikan eksistensinya dengan cara menulis, bahkan berani menuliskan wacana tubuh perempuan sebagai bagian dari tema yang dibahas.
            Selama ini belum banyak karya sastra yang ditulis oleh pengarang perempuan Indonesia, terutama yang mengangkat tema seksualitas dan mengungkapkan kehidupan kota metropolitan beserta konflik-konflik yang dihadapi di zaman modern ini. Ayu Utami beserta penulis perempuan lainnya mencoba mengungkapkan berbagai ketidakadilan yang selama ini dialami oleh kaum perempuan. Novel-novel mereka juga disesuaikan dengan keadaan yang ada saat ini, bahwa perempuan tidak selamanya harus terkungkung dalam tradisi yang membatasi ruang gerak perempuan dalam berpikir, berkarir, dan bertindak. Para penulis perempuan ini dengan serentak menyuarakan ideologi pembebasan kaum perempuan dari budaya patriarki dan menunjukkan bahwa sesungguhnya fenomena ini  ada karena diciptakan oleh masyarakat itu sendiri.
            Tanggapan positif dari masyarakat tentu saja juga disertai tanggapan negatif. Tidak sedikit yang menilai karya pengarang perempuan saat ini hanya mengandalkan popularitas yang dimilikinya. Sebagian masyarakat juga menganggap bahwa tulisan mereka  hanya mengandalkan masalah seksualitas sebagai tema utama, hanya saja disuguhkan dengan gaya penceritaan yang berbeda. Tulisan mereka dianggap sebagai bentuk provokasi terhadap keabsahan lembaga pernikahan dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kepuasaan pribadi.
            Kehadiran penulis perempuan ini hanya dianggap memanfaatkan momentum tertentu saja, seperti runtuhnya Orde Baru yang disambut dengan kebebasan mengutarakan pendapat. Perempuan-perempuan yang selama ini merasa terkungkung mengutarakan pendapatnya, dinilai terlalu “vulgar” saat diberi kebebasan mengutarakan pandangan hidupnya dalam karya yang ditulisnya. Mereka juga dianggap memanfaatkan industri pasar yang pada saat itu banyak menerbitkan karya-karyanya.
            Pendapat-pendapat yang demikian tidak sepenuhnya benar, semua dikembalikan lagi pada proses penciptaan karya sastra tersebut, mengingat karya sastra diciptakan sebagai cerminan realita masyarakat. Misalnya saja novel Saman, mengisahkan rezim Orde Baru yang membatasi kebebasan pers, padahal di saat itu banyak kasus pelecehan yang dialami oleh perempuan. Seperti kasus Marsinah yang sampai saat ini belum ditemukan kejelasannya. Hal itu membuat para penulis perempuan merasa terpanggil untuk menuliskan berbagai ketidakadilan yang dialami perempuan, di saat pendapat tidak lagi didengarkan, sehingga jalan yang dipilih adalah pemberontakan melalui karya sastra.
            Pelabelan sastra wangi terhadap penulis perempuan muda yang muncul setelah terbitnya novel Saman dan Larung karya Ayu Utami,  tidak membuat penulis tersebut merasa bangga. Pelabelan yang ditujukan kepada mereka sesungguhnya memiliki makna yang ambigu, tidak ada penjelasan yang tepat untuk menjelaskannya. Istilah sastrawangi tidak terlepas dari pelabelan masyarakat terhadap penulisnya, yaitu perempuan muda, selebriti, cantik, harum, mengangkat tema-tema seksualitas, mengungkapkan masalah kehidupan metropolitan, dan ketidakadilan terhadap perempuan. Pelabelan seperti itu membuat penulis yang bersangkutan (yang digolongkan sebagai penulis sastra wangi) merasa tidak.
            Pada kenyataannya, tidak semua pengarang perempuan yang dilabelkan dengan istilah “sastra wangi” menuliskan karya sastra yang membahas masalah seksualitas dan latar kehidupan kota metropolitan sebagai tema utama. Salah satu karya yang tidak mengungkapkan masalah seksualitas dan kehidupan kota metropolitan adalah novel Tarian Bumi. Novel ini walaupun tidak membahas masalah seksualitas sebagai tema utama, namun penulisnya, Oka Rusmini, juga digolongkan sebagai penulis sastrawangi. Usia Oka Rusmini  tidak terbilang muda saat menerbitkan karyanya tersebut. Ia lebih menonjolkan penceritaan ketertindasan perempuan karena kungkungan budaya. Oleh sebab itu Oka Rusmini berusaha menampilkan permasalahan yang berhubungan dengan protes terhadap kemapanan budaya yang di dalamnya menyangkut masalah kasta. Hal ini semakin membuat rancu terhadap pemaknaan sastra wangi itu sendiri. Secara keseluruhan, kenyataan ini juga menunjukkan bahwa sastra wangi tidak hanya identik dengan pengarang perempuan muda, cantik, selebriti, membahas masalah seksualitas, dan mengungkapkan kehidupan kota metropolitan.
            Terlepas dari pemaknaan istilah sastra wangi, kritikan kritis juga diutarakan oleh penulis perempuan muda tersebut. Selama ini  banyak karya sastra yang ditulis oleh pengarang laki-laki yang membahas mengenai perempuan dan seksualitas, namun hal itu tidak menimbulkan perdebatan yang sengit dalam masyarakat. Hal berbeda terjadi saat perempuan berani dengan lantang menuliskan tubuh perempuan. Mereka dianggap sebagai pengumbar erotisme, berani mengungkapkan tabu yang harusnya tidak dibahas secara terbuka, bahkan tidak sedikit dari mereka yang dicemooh karena tulisannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa tulisan perempuan selalu mendapatkan perhatian yang lebih besar, sebab tulisannya selalu diidentikkan dengan pembahasan mengenai tubuh perempuan dan seksualitas. Pelabelan ini tentunya menimbulkan ketidaknyamanan tersendiri bagi pengarang perempuan yang merasa termarjinalkan karena pelabelan yang demikian.

3.    Penutup
            Karya pengarang perempuan pasca-1998 menjadi salah satu sarana membangun ruang untuk melakukan sebuah pembacaan lain terhadap tradisi di tengah hadangan modernitas. Ada upaya melakukan reinterpretasi, reposisi  dan rekonstruksi  bagi sebuah  fenomena, baik pada tataran kerangka berpikir  dan perilaku yang  berlanjut sebagai perlawanan kultural terhadap sesuatu yang dianggap simbol kemapanan.
           




[1] Pada tahun 1958, Sidang Umum (General Conference) Organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu pengetahuan dan Kebudayaan (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) memutuskan untuk merancang sebuah konvensi internasional mengenai sejumlah masalah  yang menyangkut diskriminasi dalam pendidikan. Sidang konvensi itu disetujui pada tanggal 14 Desember 1960. Pasal 1 berbunyi: 1) untuk tujuan konvensi ini, istilah “diskriminasi” meliputi segala pembedaan, pengesampingan, pembatasan atau pilih kasih (preference) yang didasarkan  pada  ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya, asal-usul kebangsaan atau sosial, kondisi ekonomi atau kelahiran, yang bertujuan atau berakibat membatalkan atau mengurangi kesetaraan perlakuan dalam pendidikan dan pada khususnya:  (a) Menghalangi seseorang atau sekelompok orang dari akses kepada pendidikan dari jenis atau pada tingkat apapun; (b) Membatasi seseorang atau sekelompok orang untuk hanya mengenyam pendidikan dengan standar yang rendah (selanjutnya lihat Hevener, 1999:59-60).   

[2] Kaum perempuan harusnya mendapatkan perlakuan yang sama dengan laki-laki. Misalnya dalam bidang pendidikan, kaum perempuan telah banyak mendapatkan kesempatan seimbang dengan kaum laki-laki sehingga banyak pula kaum perempuan berhasil meraih jenjang pendidikan yang sama dengan kaum laki-laki. Hal itu dapat mendorong perubahan bagi perempuan. Kaum perempuan dianggap mampu menduduki jabatan-jabatan strategis, baik di lembaga/perusahaan negeri maupun swasta. Pemberian kesempatan kepada kaum perempuan untuk menempuh pendidikan yang sama dengan laki-laki menunjukkan bahwa perempuan telah dipandang setara dengan laki-laki (selanjutnya lihat  Senen, 2005:21).
[3]     Latar intelektual dan kehausan” sebagai perempuan yang telah mewujud menjadi energi, ditawarkan oleh sebagian besar perempuan pengarang Indonesia pasca-Saman.  Jika dilihat dari tingkat pendidikannya, para perempuan pengarang ini (sastra wangi) rata-rata telah menyelesaikan pendidikan kesarjanaannya dengan spesialisasi yang bermacam-macam, bukan hanya dari fakultas Sastra. Bervariasinya disiplin ilmu yang mereka pilih, secara tidak langsung khazanah sastra Indonesia diperkaya dengan sejumlah ungkapan, istilah, pilihan kata, maupun cara ungkap. Hal ini menunjukkan bahwa dilihat dari gaya bahasanya, tulisan mereka menunjukkan suatu kemajuan yang sangat signifikan apabila dibandingkan dengan gaya bahasa pengarang sebelumnya (selanjutnya lihat  Wahyudi, 2005:107-108).

[4] Selanjutnya lihat Sari, dalam artikel “Potret Buram Nasib Perempuan dalam Sastra”. duniasastra.proboards.com..http://duniasastra.proboards.com/index.cgi?board=diskusi&action=print&thread=69 [3 Mei 2012].


[5]  Antipati Ayu Utami terhadap pernikahan didasarkan pada pandangannya tentang pernikahan: tidak ideal, mengandung kebosanan, penyelewengan, pemukulan, hanyalah konstruksi sosial, identik dengan dominasi laki-laki atas perempuan. Selain itu, juga didasarkan pada pandangan umum masyarakat yang mengagungkan pernikahan dan menganggap perempuan baru sempurna setelah menikah dan punya anak, pada ketidakadilan hukum yang memperbolehkan lelaki berpoligami tetapi melarang perempuan berpoliandri, pada trauma masa kecil melihat perawan tua-perawan tua nyinyir yang ditemuinya. Selanjutnya lihat Debora dalam artikel “Mendebat Ayu Utami.” http://deborach.multiply.com/journal/item/5/Mendebat_Ayu_Utami. [03 mei 2012].

[6]  Selanjutnya lihat Jockay, “Ayu Utami:  Terbitkan Novel Baru” dalam kedaiberita.com.
[7]  Cerita Cinta Enrico diadaptasi dari kisah nyata suami Ayu Utami. Kemiripan cerita yang ada dalam  novel tersebut sangat mirip dengan kehidupan Ayu Utami yang sesungguhnya. Menjelang akhir cerita, makin tampak jelas bahwa kisah ini adalah kisah nyata yang berhubungan erat dengan diri penulisnya. Misalnya tentang perjumpaan Enrico dengan A (yang gampang ditebak, tak lain adalah Ayu Utami sendiri) di Teater Utan Kayu (TUK) di bagian ketiga, “Cinta Terakhir”. A memang bukan satu-satunya perempuan yang pernah dekat dengannya. Sejak mahasiswa pun ia punya banyak teman perempuan, yang sekaligus menjadi teman tidurnya. Awal kedekatan Enrico dengan A adalah saat A memintanya membuat foto bugil perempuan itu. Enrico yang saat itu sedang merindu kekasih melihat A sebagai representasi sosok ibunya: berkaki indah, punya aura kedewasaan, dan teguh pendirian. Selanjutnya lihat Jackson, “Resensi Buku Ceritan Cinta Enrico. http://sepetaklangitku.blogspot.com/2012/03/cerita-cinta-enrico.html [ 03 Mei 2012].
[8] Hapis Sulaiman dalam Female First Wed. http://cyberman.cbn.net.id/cbprtl/cyberman/ detail.aspx?x= Female+First&y= cyberman|0|0|11|45. [ 03 Mei 2012].