SUARA MARJINAL:
IDEOLOGI KEPENGARANGAN PEREMPUAN
Febria
Ratnasari, S.S
Alumnus
Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Jember,
e-mail: faizzhaikalnadildira@yahoo.co.id
Abstrak
Membahas
perempuan tentu saja tidak terlepas dari masalah seks, politik tubuh,
komodifikasi tubuh sebagai bagian dari penolakan sekaligus eksistensi diri
perempuan. Sebelum memasuki tahun 2000-an, jarang sekali ditemukan karya-karya
yang membahas secara terperinci tentang permasalahan kaum perempuan secara
spesifik; baik dari pembahasan mengenai kejiwaan diri perempuan, masalah tubuh,
seks, dan pemikiran diri perempuan. Gaung pendobrakan tabu digencarkan oleh
penulis perempuan sastra wangi. Para perempuan sastrawangi yang karyanya
menjadi sorotan publik antara lain Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, dan Oka Rusmini
dengan maha karyanya Saman, Nayla, dan Tarian Bumi. Ketiga novel tersebut
mengusung diskriminasi terhadap perempuan sehingga memunculkan resistensi dalam
diri perempuan. Membaca suara perempuan diharapkan dapat memberikan pemahaman
agar tidak selalu terjadi penghakiman moral, eksploitasi perempuan, pelabelan
negatif terhadap perempuan; tanpa melihat ideologis dan proses yang terjadi di
dalamnya.
Kata
kunci: ideologi, perempuan, sastrawangi
1.
Pendaduluan
Penelitian sastra feminis masih
sering “berkelamin tunggal”, dapat terkurangi sedikit demi sedikit. Maksudnya,
sering peneliti tertentu masih memandang perempuan dari wacana laki-laki.
Peneliti masalah gender jarang yang
mampu melihat permasalahan perempuan dengan “kacamata” perempuan.
Akibatnya sering terjadi penelitian feminisme yang bias gender. Peneliti pun
kadang-kadang masih bersikap “pilih kasih” terhadap karya-karya tertentu,
sehingga hasilnya mengecewakan semua pihak (Endraswara, 2003:145).
Lakoff who believes who believes that women’s language actually is
inferior, since it contains patterns of ‘weakness’ and ‘uncertainty’, focuses
on the ‘trivial’, the frivolous, the unserious, and stresses personal emotional
responses. Male utterance, she argues, is ‘stronger’ and should be adopted by
women if they wish to achieve social equality with men. Most radical feminist
take the view that women have been brain-washed by this type of patriarchal
ideology which produces stereotypes of strong men and feeble women (Selden,
1985:131).
Lakoff percaya
dan mempercayai bahwa bahasa perempuan sebenarnya lebih rendah, karena berisi
pola 'kelemahan' dan 'ketidakpastian', berfokus pada hal 'sepele', yang
sembrono, yang tidak serius, dan menekankan respon emosional pribadi. Ucapan
laki-laki itu, menurutnya, adalah 'kuat' dan harus diadopsi oleh perempuan jika
mereka ingin mencapai kesetaraan sosial dengan laki-laki. Kebanyakan feminis
radikal mengambil pandangan bahwa perempuan telah dicuci otak oleh jenis
ideologi patriarki yang menghasilkan stereotip pria kuat dan wanita lemah).
Lakolf
seorang sosiolinguis memiliki pandangan bahwa perempuan secara nyata memang
rendah, karena memuat pola “kelemahan” dan ‘ketidakpastian”, berfokus pada yang
dangkal, sembrono, tidak serius, dan menekankan pada tanggapan pribadi yang
penuh perasaan. Ucapan lelaki dianggap “lebih kuat” dan hendaknya diambil oleh
perempuan jika mereka ingin mendapatkan
persamaan sosial dengan para lelaki. Kebanyakan penganut feminis radikal
memiliki pandangan bahwa para perempuan telah dicuci otaknya oleh ideologi
patriarkal yang menghasilkan gambaran stereotip lelaki yang kuat dan perempuan
adalah makhluk lemah. Ucapan perempuan dianggap sebagai ucapan yang tidak
berbobot dan tidak memiliki kepastian, sedangkan perkataan laki-laki dianggap
lebih kuat. Hal ini juga dipengaruhi oleh konstruksi masyarakat yang menganggap
perempuan lebih bersifat emosional dalam berpikir, sedangkan laki-laki lebih
menggunakan rasio.
Kedudukan
perempuan yang menjadi objek dalam penciptaan karya sastra menimbulkan adanya
persepsi kurang baik dan sebuah pandangan tersendiri terhadap perempuan; perempuan
tidak memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki. Perempuan juga tidak
berdaya intelektual tinggi, selain itu juga dapat menimbulkan pandangan lain
tentang perempuan, yaitu selalu dianggap lemah, tidak kreatif, berperan
domestik, dan selalu berada pada kekuasaan laki-laki. Adanya anggapan-anggapan
tentang kedudukan perempuan tersebut, mendorong perempuan untuk menjadi maju. Seiring
dengan meningkatnya kemakmuran dan pendidikan perempuan akibat industrialisasi.
Jumlah pembaca menjadi meningkat, dan perempuan juga menjadi pembaca utama
karya-karya sastra yang terbit pada era modern.
Para feminis menyadari ada ketidakadilan yang
dialami perempuan dalam karya sastra. Beauvoir mengungkapkan bahwa pengarang
laki-laki tidak akan pernah dengan tepat menggambarkan perempuan. Deskripsi
perempuan diuraikan sebagaimana mitos yang mereka ciptakan. Sedangkan Millet
menekankan pada sexual politics,
analisis seksualitas perempuan dinilai dengan penilaian patriarkis yang membuat
gambaran perempuan menjadi bias. Millet juga mengkaji bahwa sastra dapat
menciptakan ideologi. Di sisi lain, Betty Friedan dan Germain Geer menerapkan
bahan kritik dalam menganalisis budaya. Friedan mendeskripsikan media
konsumerisme perempuan seperti dalam majalah perempuan yang mengungkapkan
posisi perempuan dalam sistem patriarkat (Sugihastuti dalam Anoegrajekti,
2010a:33).
Hal
tersebut juga dipengaruhi oleh pandangan atau ideologi kelompok tertentu
terhadap suatu kelompok lainnya. Ideologi diartikan sebagai sekumpulan ide-ide
yang dimaksudkan untuk mendahulukan kepentingan-kepentingan kelompok sosial
tertentu. Sering juga menimbulkan kerugian untuk orang lain. Cavallaro (2004:136-137) mendefinisikan
ideologi sebagai sekumpulan ide, cita-cita, nilai atau kepercayaan; suatu media
tempat sebuah budaya membentuk dunianya; ide-ide yang diunggulkan oleh kelas
sosial, gender atau kelompok ras tertentu; dan nilai-nilai yang melanggengkan
struktur kekuasaan dominan.
Ratna (2005:417) mengungkapkan bahwa sastra
perempuan harus dibedakan dengan sastra laki-laki, baik dalam kaitannya dengan
penulis maupun pembaca. Dalam hubungan inilah kemudian berkembang istilah,
seperti: androcentric (andro berarti ‘laki-laki’, ‘berpusat
pada laki-laki’), phallocentric (phallo berarti ‘kelamin laki-laki’, jadi
juga ‘berusat pada laki-laki’), androtext
berarti ‘ditulis oleh laki-laki’, gynotext
berarti ‘ditulis oleh perempuan’, gynocritic
berarti ‘studi mengenai perbedaan antara tulisan perempuan dengan tulisan laki-laki’, yang ditulis
oleh perempuan.
Cixous menekankan kajiannya pada dunia sastra dengan
mengontraskan gaya menulis perempuan dan gaya menulis laki-laki. Menurutnya
gaya menulis laki-laki mengakar pada libidonya, phallusnya. Tulisannya berorientasi phallogosentrik writing. Perempuan dilukiskan lemah lembut,
keibuan, bahkan penggoda laki-laki. sebaliknya, Cixous menginspirasi menulis
secara femine writing dengan
mengeksplorasi persoalan seksualitas, erotisme, dan feminitas. Cixous
mengungkapkan, tulisan yang baik penuh dengan gairah dan bukan karena adanya
rasio. Selain itu, pengarang perempuan lebih mudah untuk mendeskripsikan tokoh
perempuan karena pengalamannya sebagai perempuan (Anoegrajekti, 2010a:34).
Sebuah
pencitraan terhadap karya sastra yang ditulis oleh pengarang perempuan maupun
pengarang laki-laki tidak terlepas dari kegiatan merepresentasikan sebuah karya
sastra. Representasi didefinisikan sebagai tindakan, pernyataan, penggambaran
citra (image) mental, sebuah
penyajian pandangan atas fakta-fakta atau argumen-argumen (Cavallaro, 2004:69).
Sedangkan Anoegrajekti (2010c:x) menyatakan bahwa representasi merupakan sebuah
konstruksi imaji atau penyajian kembali kenyataan dalam bentuk visual dan
verbal yang menyiratkan makna dan ideologi tertentu.
Menurut
Abrams (dalam Cavallaro, 2004:70), representasi dapat diibaratkan sebagai
cermin dan lampu. “Cermin” meliputi gagasan bahwa pikiran merefleksikan dunia
luar. “Lampu” mencakup ide bahwa pikiran memancarkan cahayanya sendiri pada
objek yang dilihatnya. Citra pikiran sebagai alat yang pada dasarnya bersifat
pasif, digeser oleh citra pikiran sebagai sebuah kekuatan, kreatif dan aktif.
Berdasarkan hal tersebut, sebuah representasi dapat mewakili hal-hal yang
ditafsirkan dan pada akhirnya dapat mewakili apa pun yang sanggup memberikan
kesan, representasi mempunyai representasional yang tidak terbatas.
2. Suara Marjinal: Ideologi
Kepengarangan Perempuan
Karya
sastra yang dihasilkan oleh pengarang perempuan sampai saat ini masih terbilang
sedikit, apabila dibandingkan dengan karya sastra yang dihasilkan penulis
laki-laki. Hal ini juga berkaitan erat dengan konstruksi masyarakat yang
menilai bahwa penulis perempuan tidak memiliki intelektual yang tinggi,
selain itu perempuan juga dianggap sebagai makhluk yang lemah, dan tidak
kreatif dalam menghasilkan suatu karya. Adanya stereotip tersebut membuat kaum
perempuan meningkatkan kualitas
pendidikannya.
Sejak saat itu, perempuan berjuang untuk mendapatkan haknya agar dapat menempuh
pendidikan sehingga memiliki wawasan yang luas dan memiliki bahan acuan untuk
menciptakan suatu karya sastra.
Pengarang
perempuan sejak dulu tidak mendapatkan tempat yang spesial bagi kalangan
pembaca, sebab karyanya dianggap tidak sebagus dengan karya sastra yang ditulis
oleh pengarang laki-laki. Karya sastra yang ada selama ini
didominasi oleh pengarang laki-laki,
termasuk karya sastra yang mengangkat tema-tema perempuan.
Karya sastra yang selama ini didominasi oleh penulis
laki-laki, sepertinya hal itu mulai berubah. Sudah terlihat adanya perkembangan
dalam gerakan kesadaran penulis perempuan untuk menuangkan kemampuannya dalam
hal tulis-menulis. Diyakini pula bahwa selama dasawarsa terakhir ini,
kemunculan karya sastra oleh penulis perempuan sudah mengalami peningkatan yang
sangat pesat. Masalah yang diangkat oleh pengarang perempuan ini pun sudah
merujuk pada tema-tema yang berusaha untuk membuka cara pandang masyarakat dan
berusaha merenungkan kembali konstruksi
budaya yang terlanjur melekat dalam masyarakat.
N.H. Dini adalah salah satu pengarang perempuan yang
pernah mengangkat masalah seksualitas perempuan. Melalui novelnya, Pada Sebuah Kapal, N.H. Dini berusaha
mengungkapkan bahwa permasalahan-permasalahan yang menyangkut perempuan juga
perlu dibahas. Menurut Sunarti (2011:2), N.H. Dini menyampaikan keberanian
seorang tokoh perempuan untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Novelnya yang
berjudul Pada Sebuah Kapal dianggap
sebagai novel yang mengumbar erotisme perempuan. Selain N.H. Dini, muncul juga
pengarang-pengarang perempuan yang membahas masalah perempuan dan seksualitas,
salah satunya adalah karya-karya sastra tahun 2000-an (sejak munculnya novel Saman) atau yang sering disebut dengan
istilah sastrawangi. Budianta (dalam Listiawati, 2008:41-42) mengungkapkan
bahwa kegiatan menulis dari seluruh pengarang perempuan tersebut merupakan
suatu bentuk resistensi terhadap perempuan, karena wilayah tulisan sering
dianggap lebih dikuasai oleh laki-laki (perempuan hanya ditempatkan di wilayah
oral atau wilayah gosip).
Pada masa pemerintahan Orde Baru, teks sosial maupun politik dalam sastra modern
yang dapat disebut juga sebagai sastra sosial merupakan persoalan yang dianggap
subversif, tabu, dan mengandung resiko yang sangat fatal dan nyata bagi
sastrawannya seperti yang telah dialami oleh W.S. Rendra dan Pramoedya Ananta
Toer. Pada masa itu karya sastra tidak bisa sebebas seperti saat ini, tema-tema
karya sastra yang dianggap bertentangan dengan pemerintah akan dibredel dan
ditarik dari pasaran.
Pada masa pemerintahan Soeharto, karya-karya yang
dianggap berbahaya bagi pemerintah justru mendapatkan perhatian khusus dari
pembaca. Karya-karya yang diblacklist
oleh pemerintah menjadi karya yang banyak dicari oleh pembaca. Pada masa itu,
tidak banyak penulis yang berani menuliskan karya sastra yang bertema
“nyeleneh” (bertentangan dengan pemerintah), penulisnya akan diberikan hukuman,
bukan hanya karyanya yang ditarik dari pasaran, tetapi juga penulisnya
dipenjara. Oleh sebab itu, pada masa Soeharto, penulis sangat berhati-hati
menuliskan karyanya, terutama karya sastra yang membahas masalah sosial
politik.
Sejak dulu, pemahaman terhadap unsur-unsur sastra
dinilai atas dasar paradigma laki-laki; dengan adanya pandangan yang menganggap
perempuan sebagai kelompok yang lemah, sebaliknya laki-laki sebagai kelompok
yang lebih kuat. Contoh karya sastra yang didominasi oleh laki-laki sebagai
tokoh utamanya, seperti: Rama, Arjuna, Sutasoma, Hang Tuah, dan sebagainya.
Dalam sastra modern, masih juga didominasi oleh tokoh-tokoh laki-laki, dengan
menonjolkan permasalahan kaum laki-laki. Kenyataan tersebut mulai menunjukkan
perubahan sejak tahun 1970-an, sejak lahirnya novel populer yang diikuti oleh
hadirnya sejumlah pengarang perempuan dan membahas masalah-masalah perempuan,
sekaligus tokoh-tokoh perempuan. Karya-karya N.H. Dini, Titie Said, dan Marga
T., menampilkan masalah-masalah dan tokoh-tokoh perempuan (Ratna,
2005:419-420).
Selama dasawarsa ini, banyak bermunculan
karya sastra yang diciptakan oleh pengarang perempuan. Sejak diterbitkannya
novel Saman (1998) dan Larung (2001) karya Ayu Utami yang
bertemakan masalah perempuan dan seksualitas, maka muncul pula karya-karya yang
bertemakan sejenis. Meskipun karya para
pengarang perempuan yang baru bermunculan di tahun 2000-an itu tidak selalu
membahas masalah seksualitas dan berlatar penceritaan kota metropolitan, namun
karya-karya mereka lebih menekankan masalah penindasan yang dialami oleh
perempuan, sehingga kaum perempuan berusaha bangkit melawan ketertindasan.
Karya-karya tersebut sangat menarik apabila dilihat dari sisi feminismenya.
Pengarang-pengarang tersebut yang lahir setelah munculnya karya-karya Ayu Utami
antara lain: Djenar
Maesa Ayu (Nayla), Oka Rusmini (Tarian Bumi), Abidah El Khalieqy (Perempuan Berkalung Sorban), Kirana Kejora (Elang), Fira Basuki (Jendela, Pintu, dan Atap), Dewi
Lestari (Supernova), Nukila Amal (Cala Ibi).
Awalnya karya-karya yang membahas mengenai
perempuan mendapatkan pertentangan dari berbagai pihak. Pro dan kontra terhadap
karya-karya yang bertemakan emansipasi perempuan, terutama yang mengungkapkan
masalah seksualitas dianggap sebagai karya yang hanya mengekspos seks dan
melanggar norma-norma dalam masyarakat. Hal ini juga sesuai dengan pendapat
Sunarti (2011:2) yang mengungkapkan bahwa ketika sejumlah pengarang muda
perempuan membicarakan seksualitas dalam karya mereka, akan mendapatkan reaksi
yang sangat keras dari berbagai kalangan. Mereka dituding telah mengekspos seks
dan tubuh perempuan secara membabi buta dan melanggar norma-norma yang berlaku
di tengah masyarakat luas.
Munculnya penulis perempuan tersebut
juga diikuti oleh isu yang tidak baik. Loekito (dalam Sunarti, 2011:2) menyatakan
bahwa penulis perempuan tersebut juga dibantu oleh penerbit yang hanya
mengandalkan keuntungan materiil dan bersekutu menerbitkan karya mereka.
Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar, sebab sampai saat ini banyak penulis
perempuan yang muncul pada tahun 2000-an masih aktif menuliskan tema-tema
tentang perempuan dan masih menghasilkan karyanya sampai saat ini. Misalnya
saja Ayu Utami, sejak kemunculan Saman
(1998), ia menerbitkan Larung (2001),
kumpulan esai Si Parasit Lajang
(2003), Bilangan Fu (2008), Manjali dan Cakrabirawa (2010), dan
novelnya yang baru diterbitkan bulan Februari Cerita Cinta Enrico (2012). Memang tidak dapat dipungkiri peran
serta penerbit dalam menerbitkan karya penulis perempuan ini. Kesuksesan yang
didapat penulis perempuan tidak
lantas hanya berpusat pada kekuasaan
penerbit, sehingga memunculkan karya yang tidak berkualitas atau hanya muncul
serentak lalu hilang begitu saja. Selain Ayu Utami, banyak penulis lainnya yang
juga aktif menuliskan karya sampai saat ini. Misalnya Djenar Maesa Ayu, setelah
menuliskan Mereka Bilang, Saya Monyet (2002),
Jangan Main-main (dengan kelaminmu)
(2005), serta Nayla (2005). Djenar
masih aktif menulis sampai saat ini.
Listiana (2008:43) menyatakan bahwa novel Saman diterbitkan saat rezim Orde Baru masih berkuasa. Novel ini
menceritakan bukan hanya masalah seksualitas, melainkan juga mengangkat
tema-tema politis, terutama gugatan terhadap kekuasaan Orde Baru yang
militeristis dengan segala kekuasaan patriarkis. Pendapat Listiana tersebut secara tersirat
mengungkapkan bahwa novel Saman tidak
hanya membahas masalah seksualitas saja, namun juga ada unsur-unsur politik
yang jauh lebih menarik untuk dibahas, mengingat karya itu diciptakan saat
Soeharto masih berkuasa. Tema seksualitas dalam novel Saman memang tidak dapat dipungkiri sangat menarik untuk
dianalisis. Hal ini terbukti, sejak kemunculan novel Saman sebagai pelopor novel dengan pembawa “ideologi keterbukaan
baru”, muncullah karya-karya (menghasilkan epigon) yang membahas masalah yang
serupa.
Kemunculan pengarang muda yang mengangkat
permasalahan perempuan lebih dikenal dengan istilah sastra wangi. Sastra wangi
adalah sebutan untuk pengarang perempuan muda, cantik, dan berintelektual
tinggi.
Karya-karya mereka mengangkat tema-tema yang hampir mirip. Pengarang perempuan
yang tergolong dalam sastra wangi adalah pengarang muda yang menulis di tahun
2000-an (setelah terbitnya novel Saman).
Penyebutan istilah sastra wangi ternyata tidak sepenuhnya diterima oleh penulis
yang bersangkutan. Misalnya saja Djenar Maesa Ayu saat dimintai keterangan saat
diwawancarai oleh Laksmini (dalam Budiman, 2005:11-12) mengemukakan bahwa para
penulis itu (sastra wangi) pada kenyataannya memiliki gaya penulisan yang
berbeda dan kalaupun ada persamaan, mungkin persamaan itu hanya hadir dalam
tataran tematik. Djenar bahkan tidak mengetahui kemiripan peristiwa tema-tema
yang dimaksud oleh masyarakat. Ia sendiri juga masih meragukan makna dari
istilah “sastra wangi” tersebut.
Saroso (dalam Listiana, 2008:43) mengungkapkan bahwa
kemunculan istilah sastrawangi disebabkan oleh penciptaan karya sastra oleh
kaum perempuan dan menemukan kebangkitannya. Selan itu, muncul juga anggapan
bahwa sastra wangi merupakan karya sastra yang diciptakan oleh pengarang
perempuan yang berprofesi sebagai selebrit. Wacana sastra wangi sering
didefinisikan beberapa pihak sebagai karya sastra yang dihasilkan pengarang
perempuan, sehingga pengertian sastra wangi mengandung makna konotasi yang
feminim yang dapat dikuasai dan dinikmati.
Istilah
sastra wangi sering dikaitkan dengan pengarang yang cantik, seksi, perempuan
yang berpikiran modern, harum, dan karyanya selalu laris di pasaran. Hal ini
dibantah oleh Cristanty (dalam Budiman, 2005:11) yang mengaku agak keberatan
dengan label tersebut. Hal itu dianggapnya terlalu berlebihan, apabila penulis
yang tergolong dalam sastra wangi dikaitkan dengan soal fisik penulis yang
wangi. Apabila penggolongan sastrawan hanya digolongkan berdasarkan fisiknya
saja, ia tidak setuju. Ia berujar, “misalnya, saya termasuk orang yang nggak selalu wangi dan kadang-kadang nggak mandi juga”. Linda mengaku berasal dari keluarga yang
egaliter, dan berperan gender bukan
merupakan persoalan dalam keluarga. Meski pernah ada masa ketika ia terpikat
pada feminisme, isu tubuh dan seksualitas perempuan tidak menjadi isu yang
genting dalam pengalaman konkretnya dengan kehidupan. Ia menilai bahwa
pelabelan “sastra wangi” mengandung istilah yang sarat acuan, dan semuanya
kurang menguntungkan “penulis perempuan”.
Menurut
Sunarti (2011:2), ketika perempuan berbicara seksualitas dalam karya sastra,
mereka dinilai telah memasuki wilayah yang dianggap tabu. Tulisan mereka
dianggap sebagai sebuah fenomena yang mengumbar erotisme demi kepopuleran dan
ketenaran semata. Cara pengungkapan yang demikian telah dianggap menjadi trendsetter
dalam penciptaan karya-karya pengarang perempuan Indonesia lainnya sehingga
muncullah karya-karya serupa, khususnya di kalangan penulis Indonesia
akhir-akhir ini.
Sunarti
(2011:2) menyatakan bahwa kehebohan yang berkaitan dengan representasi
seksualitas pengarang Indonesia bermula dari munculnya novel Saman (1998) dan novel Larung (2001) karya Ayu Utami. Kehadiran
kedua novel tersebut menjadi pencetus bagi kemunculan karya-karya sejenis yang
dihasilkan oleh pengarang perempuan lainnya seperti, Ode untuk Leopold von Sacher Masoch (2002) karya Dinar Rahayu; Mereka Bilang, Saya Monyet (2002) karya
Djenar Maesa Ayu; Imipramine (2004)
karya Nova Riyanti Yusuf; dan Jangan
Main-main (dengan Kelaminmu) (2005), serta Nayla (2005) juga karya Djenar Maesa Ayu serta banyak pengarang
perempuan lagi yang menghasilkan karya yang tidak jauh berbeda.
Pembahasan
mengenai cara pandang Ayu Utami dalam melahirkan karyanya mendapatkan apresiasi
dari berbagai kalangan. Karya Ayu Utami ini seperti membawa pencerahan kembali
bagi kaum perempuan. Telah lama pembaca tidak mendapatkan “angin segar”
terhadap bacaan-bacaan yang mengungkapkan ketertindasan kaum perempuan dan
menampilkan seksualitas perempuan sebagai makhluk yang dapat berperan sebagai
subjek. Hal ini juga diutarakan oleh Bandel (2006:102) yang menyatakan bahwa
Ayu Utami telah berhasil menciptakan representasi seksual yang berbeda. Ide-ide
yang diungkapkan secara up to date
karena sepertinya disesuaikan dengan metode-metode mutakhir. Representasi
seksual Ayu Utami memiliki pesan yang provoaktif, memprotes stereotip pasif perempuan, menolak
falosentrisme, dan mengakui orientasi seksual yang plural.
Supiastutik
(2007:20) menyatakan bahwa novel Saman
diterbitkan pada saat yang tepat, yaitu ketika masyarakat Indonesia telah jenuh
mengalami pengekangan-pengekangan secara sosial dan politik oleh tatanan pemerintahan
yang otoriter. Novel ini memberikan sinyal-sinyal kebebasan dan
sentuhan-sentuhan nilai yang membebaskan. Novel ini juga mengungkap masalah
penderitaan yang dialami masyarakat yang tidak terungkap oleh media masaa. Oleh
sebab itu tidak mengherankan apabila novel ini kemudian menjadi laris.
Rengganis
dan Pradopo (2005:489) menyatakan bahwa seksualitas perempuan dalam masyarakat
Indonesia memiliki “standar ganda” dalam masalah seksualitas yang sering
dihadapinya. Ketika masyarakat Indonesia
memiliki cukup toleransi dalam hal hubungan-hubungan seks di luar
pernikahan maupun pelacuran; tetapi dalam wacana publik, stereotip-stereotip
dan mitos bahwa perempuan harus pasif dan tetap perawan sebelum menikah masih
tetap berlaku. Perempuan atau anak perempuan diwanti-wanti untuk menjaga keperawanan, tetapi apabila perempuan
tidak kunjung mendapatkan suami atau menjadi perawan tua, maka ejekan dan gosip
akan melandanya, yang menjadikan perempuan menjadi posisi yang serba salah
untuk menentukan sikapnya dalam masyarakat. Satu hal positif ketika perempuan
berani membicarakan seksualitasnya dalam wacana publik. Hal ini dianggap perlu
karena secara biologis perempuan lebih banyak dirugikan dalam hubungan
persenggamaan daripada lelaki, misalnya resiko hamil dan tidak gampangnya
perempuan mencapai kepuasan dalam berhubungan seks. Pembicaraan seks tidak akan
menyelesaikan masalah dalam hubungan lelaki-perempuan, tetapi itu tidak berarti
buruk. Justru apabila seks dibicarakan dengan cara pandang perempuan, hal ini memungkinkan
perempuan untuk menjadi subjek dan bukan objek.
Mayang
Sari
beranggapan bahwa semangat
pembebasan kaum perempuan dalam novel-novel mutakhir yang popular, seperti Saman karya Ayu Utami, justru keblinger pada semangat “feminisme sempalan” yang cenderung berorientasi
pada kebebasan perempuan untuk menikmati seks di luar nikah dan dari aturan
moral. Pembebasan seperti ini justru mengembalikan posisi perempuan sebagai
objek kaum lelaki secara lebih ekstrim. Kenyataannya, dalam realitas kehidupan
masa lalu dan masa kini, kaum perempuan memang masih cenderung menjadi objek,
atau mengobjekkan diri, untuk kaum lelaki.
Pendapat Mayang Sari tersebut tidak sepenuhnya
benar. Novel Saman tidak hanya
membicarakan tema-tema yang membahas seks sebagai permasalahan yang utama,
tetapi juga permasalahan lain yang juga menarik untuk dibahas. Seksualitas yang
diungkapkan Ayu Utami pada dasarnya tidak menganjurkan pembacanya menghalalkan
segala cara untuk mencapai kepuasan dalam hidup. Novel Saman dihadirkan sebagai sebuah realitas yang ada dalam masyarakat,
terutama masyarakat modern yang tinggal di kota-kota metropolitan. Ayu Utami
dalam novelnya berusaha mengungkapkan bahwa masalah-masalah seksualitas memang
ada dalam masyarakat dan hal itu tidak perlu ditutupi.
Sebagian masyarakat menganggap bahwa masalah
seksualitas perempuan bukan merupakan sesuatu yang harus disembunyikan karena
tidak pantas untuk diperdengarkan ke masyarakat. Orang tua biasanya tidak
menjelaskan mengenai perkembangan seksualitas perempuan dengan detail kepada
anak gadisnya. Ada banyak hal tabu pada seksualitas perempuan. Kebebasan
seksual perempuan dianggap tabu dan mereka dituntut masih perawan sebelum
menikah. Keperawanan dianggap sesuatu hal yang paling penting bagi perempuan. Hal
ini juga dibenarkan pula oleh Ayu Utami (dalam Rengganis dan Pradopo,
2005:489-490) yang menyatakan bahwa pembicaraan seks dengan cara pandang
perempuan sangat penting, terutama pemaparan tentang banyaknya mitos tentang
seks yang perlu diluruskan kembali. Demikian juga dengan “pengotakan”
lelaki-perempuan dalam konteks seksual. Mengenai soal keperawanan yang
menempatkan perempuan dalam posisi yang kalah, perempuan yang sudah tidak
perawan dianggap sudah cacat, tetapi nilai itu tidak berlaku bagi lelaki.
Subjektivitas
dalam menyuarakan seksualitas terlihat sangat komplek dalam novel Saman (Rengganis dan Pradopo, 2005:496).
Ayu Utami mengungkapkan subjektivitas perempuan-perempuan dalam novel Saman dengan cara-cara yang berbeda.
Perempuan dalam novel Saman memiliki
kemampuan untuk bersifat aktif maupun pasif dalam membangun subjektivitas
mereka dalam teks cerita. Subjek-subjek yang menghasilkan suatu narasi bahwa
perempuan memiliki kemampuan untuk “mengubah’ budaya yang telah mengungkung
subjektivitas perempuan.
Subjektivitas
yang dimaksud itu terwakili oleh keempat tokoh perempuan yang diceritakan oleh
Ayu Utami, yaitu Shakuntala, Laila, Yasmin, dan Cok. Shakuntala tergolong
sebagai perempuan yang memiliki kemampuan aktif dalam menampilkan
subjektivitasnya dan menyuarakan seksualitasnya. Shakuntala telah menunjukkan
pemberontakan terhadap sistem norma dan aturan yang mengistimewakan keperawanan
dan menganggap pernikahan sebagai belenggu bagi perempuan. Shakuntala mampu
mengenali tubuhnya sendiri dan mampu menyuarakan seksualitasnya, baik sebagai
lelaki maupun sebagai perempuan.
Berbeda dengan Shakuntala, Laila
termasuk perempuan yang hanya memiliki kemampuan pasif dalam menyuarakan
seksualitasnya sebagai subjek dalam masyarakat. Kemampuan Laila dalam menyuarakan
masalah seksualitasnya sebagai subjek perempuan dalam masyarakat disebabkan
oleh sistem norma dan ajaran yang membentuknya memiliki pandangan konvensional
mengenai seksualitas. Pandangan itu juga berhasil diubah oleh Laila dengan cara
memberontak melalui perilaku seksualnya. Ia berhubungan dengan Sihar (lelaki beristri) di luar pernikahan.
Subjektivitas
tokoh Yasmin termasuk dalam pandangan perempuan yang moderat. Yasmin tergolong
perempuan yang sempurna, memiliki kemampuan menampilkan subjektivitas
seksualitasnya secara aktif sebagai subjek perempuan dalam masyarakat. Yasmin
membantu proses pelarian Saman ke luar negeri. Sama halnya dengan Yasmin, Cok
memiliki pandangan yang moderat mengenai seksualitas dan subjektivitas. Ia
memiliki kemampuan aktif dan kebebasan dalam menampilkan subjektivitas dan
menyuarakan seksualitasnya. Cok memiliki banyak pengalaman mengenai hubungannya
dengan beberapa lelaki. Ia bertindak sebagai subjek yang dapat mengendalikan
lelaki, bahkan mempermainkan lelaki dalam kehidupannya.
Budianta
(2003:43) menjelaskan bahwa penceritaan
kisah Adam dan Hawa dalam novel Saman telah
mengalami re-kreasi. Hawa yang ditemui Adam adalah Hawa yang terpasung,
terpikat menjadi satu dengan pohon buah terlarang. Proses penceritaan Adam dan
Hawa ini, Ayu Utami melakukan protes atas pemasungan hak seksual perempuan.
Hawa di sini adalah yang mendapatkan buah yang lain (buah zakar Adam), yang
memprotes keterpasungan dan dahaganya tetapi tetap menjadi hamba yang secara
tidak sengaja memuaskan birahi Adam.
Ayu Utami dikenal sebagai penulis yang lantang melawan
ketertindasan kaum perempuan. Ia sendiri memilih tidak menikah sampai usianya 43
tahun. Kabar yang mengejutkan bagi penikmat sastra, Ayu Utami yang selalu
menentang pernikahan justru memutuskan menikah di usia 44 tahun.
Pernikahannya ini juga menimbulkan perbincangan di kalangan pembaca. Kumpulan
esainya yang berjudul Si Parasit Lajang mengungkapkan beberapa
alasannya untuk tetap hidup tanpa ikatan pernikahan. Oleh sebab itu, keputusan
Ayu Utami untuk menikah cukup menghebohkan pembaca karya-karyanya.
Kehidupan baru yang dijalani Ayu
Utami setelah menikah tidak mengubah gaya penulisannya serta tema-tema yang
diangkat dalam novelnya. Hal ini terbukti dengan terbitnya novel Cerita Cinta Enrico, Ayu Utami tidak
melepaskan pembahasan mengenai permasalahan spiritualitas, politik, dan
seksualitas sebagai ciri khas penulisannya.
Jokay
menjelaskan bahwa novel Cerita Cinta Enrico menceritakan kisah cinta pertama Enrico terhadap
ibunya. Sayangnya, setelah kematian kakak Enrico, ibu Enrico memilih
menjalankan agamanya secara kaku. Hingga suatu hari ibunya memaksa Enrico
dibaptis sebagai Saksi Yehuwa. Saat itu pula, Enrico kecewa terhadap perempuan
yang dikaguminya dan memilih untuk tidak beragama. Ayu Utami berpendapat bahwa
paksaan yang dilakukan ibunya justru membuatnya tidak ingin beragama dan keluar
dari agama yang selama ini diyakininya. Cerita
Cinta Enrico juga menggambarkan peran agama dalam pengalaman dan
penderitaan manusia. Menurut Ayu, agama sungguh penuh kasih. Ini karena agama
sanggup memberi kepastian pada manusia yang lemah dan yang kuat. Pengalamannya
mengkritisi agama yang berujung pada keinginan mengkaji ulang agamanya,
menjadikan Ayu kerap memaparkan perjalanan spiritual figur dalam setiap
karyanya. Ayu Utami juga mengungkapkan beberapa pemikirannya
terkait dengan topik-topik seksualitas, yang kerap muncul di novel-novelnya.
Menurutnya seksualitas bukanlah sesuatu yang harus ditutupi. Pengetahuan seksualitas
pada anak-anak haruslah diarahkan, bukan ditutupi. Perempuan yang dikenal
sebagai seorang feminis ini juga mengungkapkan pula tentang alasannya
menceritakan pernikahannya dengan Enrico pada akhir novel Cerita Cinta Enrico.
Karya
pengarang muda lainnya yang mendapat sorotan dari berbagai kalangan pembaca
adalah novel Nayla karya Djenar Maesa
Ayu. Novel Nayla juga tidak terlepas
dari tema-tema seksualitas dan subjektivitas tubuh perempuan, walaupun
disajikan dengan cara penceritaan yang berbeda. Pembahasan tema seksualitas
yang ditampilkan dalam karya–karya para penulis perempuan tidaklah sama.
Sebagian besar tokoh perempuan dalam novel
Saman dengan lantang
mempertanyakan norma–norma patriarki; mereka bahkan menunjukkan pemberontakan
dengan melanggar nilai–nilai konvensional. Berbeda halnya dengan kedua novel
tersebut, seksualitas dalam karya-karya Djenar Maesa Ayu, tidak sepenuhnya berisi pengukuhan kepercayaan diri dalam
membongkar hegemoni. Ketiga karya tersebut juga mengangkat sisi yang lebih
kelam dan traumatis dari seksualitas, yang begitu erat dengan penaklukan,
ketidakberdayaan dan kekerasan.
Seksualitas yang tercermin dalam
karya-karya Djenar penuh dengan ketidaktahuan dan kegamangan. Budaya Indonesia
yang penuh tabu menyebabkan remaja dibiarkan menemukan seksualitasnya sendiri,
sehingga dalam pencarian itu sering muncul kesadaran yang salah dan bahkan
trauma. Karya -karya Djenar sebagian besar menghadirkan masa remaja yang penuh
dengan ketidaktahuan juga rentan akan kekerasan seksual, selain itu secara
eksplisit lebih mengulas trauma seksual yang dialami anak-anak/remaja tanpa
orang tua sebagai figur panutan. Tokoh-tokoh yang masih sangat belia dipaksa
mengenal seksualitas melalui perkosaan. Hal ini mengakibatkan memahami
seksualitas sebagai relasi yang tidak seimbang,
yaitu saat laki-laki mengambil segala sesuatu dari perempuan untuk menjadi
kuat. Semakin banyak laki-laki melakukan kekerasan, semakin besar pula
kekuasaannya. Seksualitas begitu mudah mempengaruhi kehidupan remaja sehingga
sering terjadi kekerasan seksual maupun kesadaran yang salah tentang hubungan
laki -laki dan perempuan. Hal ini diperburuk oleh mitos tabu dalam masyarakat
Indonesia yang membuat “benteng” antara dunia remaja dengan seksualitas.
Bandel
(2006:151) menyatakan bahwa novel Nayla merupakan
cerita yang dibuat berdasarkan pengalaman pribadi pengarangnya. Hal tersebut
mempengaruhi kualitas dan mutu novel pertama Djenar Maesa Ayu juga berkurang.
Penyebab dari penurunan ini disebabkan karena pengarang terlalu mengutarakan
berbagai persoalan dan emosi pribadi dalam karyanya daripada mendalami
perkembangam kejiwaan tokoh utamanya. Sang pengarang juga memiliki karakter
yang mirip dengan tokoh utama novelnya, yaitu merasa takut pada tokoh-tokoh
lainnya dan begitu sulit memahami dirinya sendiri.
Pendapat
Bandel tersebut menyiratkan bahwa Novel Nayla
kurang memperhatikan kedalaman psikologis tokoh utamanya. Hal itu
sepenuhnya tidak benar, sebab Djenar
dalam novelnya Nayla juga membahas
mengenai kejiwaan yang dialami oleh tokoh utamanya, yaitu Nayla. Nayla
mengalami permasalahan dengan keluarganya, kedua orangtuanya berpisah saat ia
dalam kandungan. Nayla mengalami trauma psikologis dan tidak mendapatkan kasih
sayang yang sepenuhnya dari kedua orangtuanya. Ia sejak kecil tinggal bersama
ibunya dan dididik secara keras oleh ibunya, dengan harapan agar Nayla menjadi
perempuan yang mandiri dan tidak lemah. Nayla tidak boleh melakukan kesalahan
sedikit pun, sebab akan ia akan dihukum oleh ibunya apabila melakukan
kesalahan. Nayla mengalami pemerkosaan yang dilakukan oleh pacar ibunya, hal
itulah yang membuat Nayla mengalami tekanan psikologis.
Menurut
Sunarti (2012:7) tokoh Nayla mengalami empat trauma dalam kehidupannya.
Pertama, pelecehan seksual dan dominasi ibu yang digambarkan sebagai hubungan
yang menyakitkan seperti peniti dalam vagina. Kedua, pemerkosaan yang dilakukan
oleh pacar ibunya, yaitu Om Indra. Ketiga, kehilangan kasih sayang dari figur
ayah yang sempat didapatkannya selama tiga bulan. Keempat, Nayla dicampakan ke
Rumah Perawatan Anak Nakal dan Narkotika oleh ibu tirinya. Penceritaan mengenai
trauma yang dirasakan Nayla dibahas secara jelas dan terbuka oleh Djenar.
Bandel
(2006:144) menilai bahwa novel Nayla
kurang membahas kedalaman psikologis tokohnya. Fokus dari novel Nayla yaitu tentang kisah hidup Nayla
dari masa kecil sampai tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa. Kisah hidup
Nayla diceritakan dengan cukup lancar dan menarik di beberapa bagian, namun
kedalaman psikologisnya sangat kurang. Pengalaman Nayla hanya diceritakan begitu saja tanpa mempersoalkan
kompleksitas hubungan Nayla dengan orang-orang di sekitarnya, terutama dengan
orang tua dan kekasihnya. Persoalan-persoalan psikologis yang menjadi tema
utama dalam novel Nayla tidak banyak
dieksplorasi.
Listiawati (2008:44) mengungkapkan bahwa para
perempuan sastra modern saat ini tidak lagi berhadapan dengan kekuasaan negara,
melainkan menghadapi cemooh dari berbagai sastrawan, pengamat sastra, dan
sebagian masyarakat Indonesia dengan alasan-alasan moralisme. Karya-karya para
pengarang perempuan ini digolongkan sebagai karya seks karena keberanian dan
keterbukaannya membahas urusan seksualitas.
Sulaiman
menuliskan hasil wawancaranya dengan Djenar Maesa Ayu tentang permasalahan
kevulgaran dalam setiap karya-karyanya. Menurutnya, setiap yang ditulisnya
dalam sebuah novel adalah masalah gender. Ketika seorang perempuan seperti
sekarang sudah berani mengatakan sesuatu, atau menulis satu kata, mereka lebih
mudah dihakimi tanpa dilihat secara keseluruhan esensi dari apa yang ingin
diceritakannya. Djenar mengaku bahwa ia dicuriga banyak orang, yang hanya
karena rumor, lalu menghakimi hanya dari satu kata, misalnya, 'penis'. Penghakiman
itu dikarenakan Djenar menuliskan tentang seks, padahal ia menulis tentang seksualitas,
bukan aktivitas seksual, menulis tentang tindak kekerasan pada anak-anak dan
pelecehan seksual. Bagi Djenar, pornografi itu punya niatan untuk perangsang.
Jadi, tidak mungkin karyanya bertujuan untuk merangsang sebab ia menulis
tentang pelecehan seksual pada anak di bawah usia 9 tahun. Djenar merasa
diperlakukan tidak adil karena ketimpangan gender.
“Ketika ia menulis 'memek' itu menjadi heboh. Padahal, Beni Setia, seorang
sastrawan besar dan karya-karyanya pernah masuk di Kompas dan pernah menjadi buku terbaik Kompas dengan tokoh bernama 'memek'; Putu Wijaya memakai judul
puisinya 'memek'; Sutardji Calzoum Bachri menyatakan kerinduannya pada 'kontol
yang panjang dari pulau ke pulau'; tidak pernah diributkan. Tapi, ketika
seorang perempuan menuliskan 'memek', menjadi kontroversial. Jadi, sebetulnya
saya pikir ini masalah ketimpangan gender”, tutur Djenar.
Selain
novel Nayla, penulis lain yang
mendapatkan perhatian khusus berkat karyanya adalah Oka Rusmini. Ia terkenal
bukan karena karyanya yang mengungkapkan tema-tema seksualitas, tetapi lebih
menekankan pada permasalahan sosial budaya, terutama di daerah Bali. Pembahasan
mengenai kebudayaan juga sangat menarik untuk dibahas, sebab tidak banyak
novel-novel yang mengungkapkan kearifan lokal suatu budaya, terutama yang
berkaitan dengan masalah perempuan dan gender.
Haska
(dalam jurbalbali.com, 2012)
mengungkapkan bahwa tokoh perempuan-perempuan Bali dalam novel telah dihadirkan
pengarang sebagai salah satu sarana membangun ruang untuk melakukan sebuah
pembacaan lain terhadap tradisi di tengah hadangan modernitas. Ada upaya
melakukan reinterpretasi, reposisi dan rekonstruksi bagi sebuah
fenomena baik pada tataran kerangka berpikir dan perilaku
yang berlanjut sebagai perlawanan kultural terhadap sesuatu yang dianggap
simbol kemapanan. Pergulatan tokoh-tokoh perempuan dalam novel para pengarang
Bali dapat menjadi dokumen sejarah yang berguna untuk membangun sistem
masyarakat. Novel bukan sekadar fiksi belaka tapi dapat juga menjadi dokumen
sejarah yang memberi masukan untuk membangun kesetaraan gender untuk
kehidupan masyarakat.
Hak perempuan tidak hanya terbatas
pada masalah kesehatan, tetapi juga kenikmatan tubuh, yang tampaknya menjadi
arena pertarungan antara ‘penulis perempuan’ dan patriarki karena ini adalah
sesuatu yang esensial bagi keduanya. Luh Sekar sebagai perempuan berkasta Sudra
mengalami perubahan dalam hidupnya setelah menikah dengan Ida Bagus Ngurah
Pidada yang bekasta Brahmana. Keputusan yang lain diambil oleh Telaga (anak Luh
Sekar), yaitu menikah dengan Wayan Sasmitha yang berkasta Sudra membuat ibunya
kecewa. Bagi perempuan Bali, menikah dengan Ida
Bagus merupakan suatu berkah karena dapat meningkatkan kehidupannya dalam
masyarakat. Keputusan Telaga untuk menikah dengan lelaki berkasta Sudra
menunjukkan pergolakan terhadap kemapanan budaya yang selalu meninggikan kasta
sebagai pembeda kedudukan seseorang dalam masyarakat. Pernikahan Telaga dengan
Wayan dianggap sebagai aib karena saat Telaga memutuskan menikah tidak
melaksanakan upacara patiwangi dan
tidak meminta izin dari keluarga di griya. Setelah kematian Wayan, barulah
Telaga memutuskan melakukan upacara Patiwangi
agar merasa tenang menjalani kehidupannya sebagai perempuan Sudra.
Anoegrajekti (2010:566-567)
mengungkapkan bahwa ritual Patiwangi yang ada dalam masyarakat Bali
merupakan jalan bagi perempuan Brahmana yang menikah dengan laki-laki Sudra
untuk menerima secara ikhlas perkawinannya, dan keluar dari sorohnya. Untuk
menghindari perkawinan antarkasta dimunculkan istilah Menek wangi. Menek wangi
merupakan ritual untuk perempuan dari kasta rendah menikah dengan lelaki yang
memiliki kasta tinggi, sehingga kedudukan perempuan menjadi terhormat.
Al-Ma’ruf (2011:37) mengungkapkan
bahwa Oka Rusmini melalui novelnya Tarian
Bumi juga mengungkapkan spririt multikultural sebagai media resistensi
kultural terhadap ketatnya tradisi dalam masyarakat Bali yang masih hidup
sampai sekarang. Tarian Bumi
merupakan perlawanan terhadap budaya patriarkal, dalam artian kaum pradana (penari) tetap mampu eksis,
berperan, dan survive dalam budaya
patriarkal. Luh Sekar, seorang gadis desa yang merasa dihina oleh masyarakat
karena ayahnya adalah pemberontak desa dan sebagai anggota PKI. Ia berusaha
untuik mengangkat derajat dirinya dengan menjadi pragina joged bungbung. Dengan menjadi seorang pragina, ia berharap dapat meningkatkan statusnya dari orang
berkasta Sudra menjadi orang yang terhormat.
Berdasarkan
analisis mengenai ideologi kepengarangan perempuan, terutama pengarang
sastrawangi dapat disimpulkan bahwa banyak pengarang perempuan yang muncul
setelah terbitnya novel Saman.
Kemunculan pengarang tersebut yang serentak dan “menjamur” mendapatkan
perhatian pro-kontra masyarakat. Banyak masyarakat yang menilai kemunculan
pengarang perempuan pasca-Orde Baru ini menunjukkan adanya eksistensi kaum
perempuan dalam hal menghasilkan karya tulisan. Hal ini juga didasarkan pada
realita bahwa selama ini karya sastra Indonesia didominasi oleh penulis
laki-laki.
Adanya
peran serta perempuan dalam bidang penulisan karya sastra dapat mematahkan
pendapat yang menyatakan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, tidak
berintelektual tinggi, dan hanya mengandalkan emosi dalam bertindak. Perempuan
juga dapat membuktikan eksistensinya dengan cara menulis, bahkan berani
menuliskan wacana tubuh perempuan sebagai bagian dari tema yang dibahas.
Selama
ini belum banyak karya sastra yang ditulis oleh pengarang perempuan Indonesia,
terutama yang mengangkat tema seksualitas dan mengungkapkan kehidupan kota
metropolitan beserta konflik-konflik yang dihadapi di zaman modern ini. Ayu
Utami beserta penulis perempuan lainnya mencoba mengungkapkan berbagai
ketidakadilan yang selama ini dialami oleh kaum perempuan. Novel-novel mereka
juga disesuaikan dengan keadaan yang ada saat ini, bahwa perempuan tidak
selamanya harus terkungkung dalam tradisi yang membatasi ruang gerak perempuan
dalam berpikir, berkarir, dan bertindak. Para penulis perempuan ini dengan
serentak menyuarakan ideologi pembebasan kaum perempuan dari budaya patriarki
dan menunjukkan bahwa sesungguhnya fenomena ini
ada karena diciptakan oleh masyarakat itu sendiri.
Tanggapan positif dari masyarakat
tentu saja juga disertai tanggapan negatif. Tidak sedikit yang menilai karya
pengarang perempuan saat ini hanya mengandalkan popularitas yang dimilikinya.
Sebagian masyarakat juga menganggap bahwa tulisan mereka hanya mengandalkan masalah seksualitas
sebagai tema utama, hanya saja disuguhkan dengan gaya penceritaan yang berbeda.
Tulisan mereka dianggap sebagai bentuk provokasi terhadap keabsahan lembaga
pernikahan dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kepuasaan pribadi.
Kehadiran penulis perempuan ini
hanya dianggap memanfaatkan momentum tertentu saja, seperti runtuhnya Orde Baru
yang disambut dengan kebebasan mengutarakan pendapat. Perempuan-perempuan yang
selama ini merasa terkungkung mengutarakan pendapatnya, dinilai terlalu
“vulgar” saat diberi kebebasan mengutarakan pandangan hidupnya dalam karya yang
ditulisnya. Mereka juga dianggap memanfaatkan industri pasar yang pada saat itu
banyak menerbitkan karya-karyanya.
Pendapat-pendapat yang demikian
tidak sepenuhnya benar, semua dikembalikan lagi pada proses penciptaan karya
sastra tersebut, mengingat karya sastra diciptakan sebagai cerminan realita
masyarakat. Misalnya saja novel Saman, mengisahkan
rezim Orde Baru yang membatasi kebebasan pers, padahal di saat itu banyak kasus
pelecehan yang dialami oleh perempuan. Seperti kasus Marsinah yang sampai saat
ini belum ditemukan kejelasannya. Hal itu membuat para penulis perempuan merasa
terpanggil untuk menuliskan berbagai ketidakadilan yang dialami perempuan, di
saat pendapat tidak lagi didengarkan, sehingga jalan yang dipilih adalah
pemberontakan melalui karya sastra.
Pelabelan sastra wangi terhadap
penulis perempuan muda yang muncul setelah terbitnya novel Saman dan Larung karya
Ayu Utami, tidak membuat penulis
tersebut merasa bangga. Pelabelan yang ditujukan kepada mereka sesungguhnya
memiliki makna yang ambigu, tidak ada penjelasan yang tepat untuk
menjelaskannya. Istilah sastrawangi tidak terlepas dari pelabelan masyarakat
terhadap penulisnya, yaitu perempuan muda, selebriti, cantik, harum, mengangkat
tema-tema seksualitas, mengungkapkan masalah kehidupan metropolitan, dan
ketidakadilan terhadap perempuan. Pelabelan seperti itu membuat penulis yang
bersangkutan (yang digolongkan sebagai penulis sastra wangi) merasa tidak.
Pada kenyataannya, tidak semua
pengarang perempuan yang dilabelkan dengan istilah “sastra wangi” menuliskan
karya sastra yang membahas masalah seksualitas dan latar kehidupan kota
metropolitan sebagai tema utama. Salah satu karya yang tidak mengungkapkan
masalah seksualitas dan kehidupan kota metropolitan adalah novel Tarian Bumi. Novel ini walaupun tidak
membahas masalah seksualitas sebagai tema utama, namun penulisnya, Oka Rusmini,
juga digolongkan sebagai penulis sastrawangi. Usia Oka Rusmini tidak terbilang muda saat menerbitkan
karyanya tersebut. Ia lebih menonjolkan penceritaan ketertindasan perempuan
karena kungkungan budaya. Oleh sebab itu Oka Rusmini berusaha menampilkan
permasalahan yang berhubungan dengan protes terhadap kemapanan budaya yang di
dalamnya menyangkut masalah kasta. Hal ini semakin membuat rancu terhadap
pemaknaan sastra wangi itu sendiri. Secara keseluruhan, kenyataan ini juga
menunjukkan bahwa sastra wangi tidak hanya identik dengan pengarang perempuan
muda, cantik, selebriti, membahas masalah seksualitas, dan mengungkapkan
kehidupan kota metropolitan.
Terlepas dari pemaknaan istilah
sastra wangi, kritikan kritis juga diutarakan oleh penulis perempuan muda
tersebut. Selama ini banyak karya sastra
yang ditulis oleh pengarang laki-laki yang membahas mengenai perempuan dan
seksualitas, namun hal itu tidak menimbulkan perdebatan yang sengit dalam
masyarakat. Hal berbeda terjadi saat perempuan berani dengan lantang menuliskan
tubuh perempuan. Mereka dianggap sebagai pengumbar erotisme, berani
mengungkapkan tabu yang harusnya tidak dibahas secara terbuka, bahkan tidak
sedikit dari mereka yang dicemooh karena tulisannya. Hal tersebut menunjukkan
bahwa tulisan perempuan selalu mendapatkan perhatian yang lebih besar, sebab
tulisannya selalu diidentikkan dengan pembahasan mengenai tubuh perempuan dan
seksualitas. Pelabelan ini tentunya menimbulkan ketidaknyamanan tersendiri bagi
pengarang perempuan yang merasa termarjinalkan karena pelabelan yang demikian.
3.
Penutup
Karya
pengarang perempuan pasca-1998 menjadi salah satu sarana membangun ruang untuk
melakukan sebuah pembacaan lain terhadap tradisi di tengah hadangan modernitas.
Ada upaya melakukan reinterpretasi, reposisi dan rekonstruksi bagi
sebuah fenomena, baik pada tataran kerangka berpikir dan perilaku
yang berlanjut sebagai perlawanan kultural terhadap sesuatu yang dianggap
simbol kemapanan.
Antipati Ayu Utami terhadap
pernikahan didasarkan pada pandangannya tentang pernikahan: tidak ideal,
mengandung kebosanan, penyelewengan, pemukulan, hanyalah konstruksi sosial,
identik dengan dominasi laki-laki atas perempuan. Selain itu, juga didasarkan
pada pandangan umum masyarakat yang mengagungkan pernikahan dan menganggap perempuan
baru sempurna setelah menikah dan punya anak, pada ketidakadilan hukum yang
memperbolehkan lelaki berpoligami tetapi melarang perempuan berpoliandri, pada
trauma masa kecil melihat perawan tua-perawan tua nyinyir yang ditemuinya.
Selanjutnya lihat Debora dalam artikel “Mendebat Ayu Utami.” http://deborach.multiply.com/journal/item/5/Mendebat_Ayu_Utami.
[03 mei 2012].
Cerita Cinta Enrico diadaptasi dari
kisah nyata suami Ayu Utami. Kemiripan cerita yang ada dalam novel tersebut sangat mirip dengan kehidupan
Ayu Utami yang sesungguhnya. Menjelang akhir cerita, makin tampak jelas bahwa
kisah ini adalah kisah nyata yang berhubungan erat dengan diri penulisnya.
Misalnya tentang perjumpaan Enrico dengan A (yang gampang ditebak, tak lain
adalah Ayu Utami sendiri) di Teater Utan Kayu (TUK) di bagian ketiga, “Cinta
Terakhir”. A memang bukan satu-satunya perempuan yang pernah dekat dengannya.
Sejak mahasiswa pun ia punya banyak teman perempuan, yang sekaligus menjadi
teman tidurnya. Awal kedekatan Enrico dengan A adalah saat A memintanya membuat
foto bugil perempuan itu. Enrico yang saat itu sedang merindu kekasih melihat A
sebagai representasi sosok ibunya: berkaki indah, punya aura kedewasaan, dan
teguh pendirian. Selanjutnya lihat Jackson, “Resensi Buku Ceritan Cinta Enrico. http://sepetaklangitku.blogspot.com/2012/03/cerita-cinta-enrico.html [ 03 Mei 2012].